Penolakan Pengesahan RUU Pertanahan Sebagai Upaya Melindungi Kepentingan dan Hak Masyarakat di Bidang Agraria

  • Bagikan

Moldi Samuel

(Mahasiswa Prodi Hukum UNIMUDA Sorong)

 

RUU Pertanahan per tanggal 22 Juni 2019 belum dapat menjawab ekspektasi masyarakat dan tujuan Undang-Undang Pokok Agraria. Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan) awalnya diharapkan dapat menjawab berbagai persoalan dan konflik agraria yang terjadi di Indonesia. RUU ini juga diharapkan dapat mengatur pengelolaan tanah dengan mempertimbangkan sosial, budaya dan lingkungan hidup. Dalam proses pengesahannya memicu berbagai protes besar besaran yang dilakukan para Mahasiswa karena memang didalam RUU tersebut masih banyak bunyi pasal yang menimbulkan banyak tafsir, bahkan didalam RUU tersebut malah menguntungkan korporasi dan investor. Misalnya sebagai berikut

  1. Pasal 36 RUU Pertanahan yang mewajibkan permohonan perpanjangan lima tahun sebelum hak atas tanah berakhir.”Ketika satu tanah tidak bisa dibuktikan siapa pemiliknya otomatis Negara memilikinya’’ tentu dengan jangka waktu yang sangat singkat ini yaitu 5 tahun Negara secara legal mengambil alih tanah yang tidak didaftarkan kembali, serta meminimalisir peluang pemilik tanah untuk mendaftarkan tanahnya kembali
  2. pada pasal 94 terhadap ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar bagi setiap orang atau kelompok yang menyebabkan sengketa lahan, sebagaimana kita ketahui bahwa tidak ada satupun orang yang menginginkan tanah sengketa, dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang menyebabkan sengketa memaksa penyelesaian konflik tanah di pengadilan. Seharusnya dalam RUU pertanahan tersebut memperjelas serta memperkuat siapa pemegang hak terkuat pada sebuah lahan pertanahan
  3. RUU Pertanahan berpotensi menyebabkan terjadinya perampasan hak atas tanah atas nama perubahan tata ruang dan kepentingan umum. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan alasan yang sering digunakan untuk merampas hak atas tanah masyarakat. RUU Pertanahan ini juga tidak memberikan kriteria jelas mengenai apa itu kepentingan umum. RUU ini malah memberikan peluang dalam keadaan memaksa dapat dilakukan pencabutan hak atas tanah jika tanah masyarakat tidak sesuai dengan tata ruang. Sekali lagi, keadaan memaksa ini pun tidak mempunyai kriteria yang jelas.

Sebenarnya masih banyak pasal-pasal yang tidak relevan serta memicu konflik pada RUU pertanahan. Pada intinya RUU pertanahan yang telah masuk prolegnas di tahun 2020 sudah sangat wajar jika diprotes agar dilakukan penundaan serta harus di revisi bersama berbagai stake holder sehingga mampu menjawab permasalahan agraria di Indonesia. Konflik Agraria yang sering terjadi ketika kepemilikan ha katas tanah masyarakat harus diabaikan ketika ada proyek infrastruktur yang hendak dibangun yang memaksa masyarakat harus rela meninggalkan kepemilkan atas tanahnya. Walaupun ada ganti ruginya tetapi tidak semua masyarakat akan setuju dengan ganti rugi tersebut. Kemudian kekuatan antara Sertifikat hak milik dan sertifikat hak guna bangunan serta hak guna usaha terkadang saling bertentangan yang pada akhirnya diselesaikan dimeja pengadilan. Kemudian adanya dua kekuatan kepemilikan tanah berupa sertifikat dan surat keterangan Adat yang keduanya sering bergesekan dan tiap pemegang surat tersebut mengklaim bahwa masing masing surat tersebut adalah yang terkuat. Opini penulis adalah dalam revisi UU Pertanahan akan lebih baik jika dibentuk lembaga pengadilan Agraria untuk memutuskan sengketa ataupun perkara tentang bidang Agraria. Bisa diisi oleh para pakar pakar hukum dengan konsentrasi hukum agraria sehingga benar benar mampu menyelesaikan permasalahan di bidang Agraria.

  • Bagikan