Politik, Bahasa dan Budaya Nusantara

  • Bagikan

(Studi Demokrasi Prespektif Dari Papua Barat)

Oleh: Ir. Huda Mutofa, M.T. (Dosen Prodi Teknik Sipil)

 

Jika kita bicara mengenai politik  kebudayaan pada hakikatnya kita membicarakan tujuan-tujuan pada masyarakat. Oleh karena itu, di dalam tulisan kali ini, saya tidak akan membicarakan politik kebudayaan ini lepas dari tujuan-tujuan sosial yang tertanam di  dalam gerak maju revolusi Indonesia.

Saya tidak mengatakan bahwa berbagai wacana dan program yang ditawarkan pemerintah yang telah kita alami sejak kemerdekaan Republik Indonesia mempuyai visi politik kebudayaan. Tapi kita bisa mengatakan secara sadar keaktifan-keaktifan dan pemikiran-pemikiran yang bersama-sama dirumuskan dan memberi arah kepada kehidupan dan kebudayaan Indonesia sejak proklamasi, berkisar di sekitar dua masalah pokok, yaitu masalah peraturan nasional dan masalah modernisasi; terhadap kebudayaan-kebudayaan Indonesia yang dianggab pramodern, tradisioanal, dan dianggap perlu di sesuaikan atau menyesuaikan diri pada tuntutan-tuntutan zaman dan kepada tanggung jawab baru yang menjadi konsekuensi dari kemerdekaan bangsa.

Tidak ada jeleknya jika pada waktu-waktu tertentu kita coba membina persatuan nasional ini dengan usaha-usaha kebudayaan kita. Sampai dimana arah perkembangan itu, dan sampai dimana perkembangan itu, atau kekurangan perkembangan itu, melemahkan persatuan nasional; sampai dimana kemajuan yang telah diperoleh di bidaang modernisasi sungguh-sungguh merupakan perubahaan-perubahan yang relevan, yang sungguh- sungguh membantukan kita dalam menempatkan diri sebagai suatu Negara dan bangsa yang kuat dan bebas pada akhir abad 20.

Tetapi dengan sendirinya tidak cukup kita hanya melihat secara moment opname: kita harus mengerti perkembangan-perkembangan yang telah dan yang sedang terjadi di Indonesia suatu rangka yang dimanis. Juga perlu kita menyadari bahwa dalam kita mengukur impact dan akibat dari usaha-usaha di bidang kebuyaan atas kedua persoalan yang timbul: (1) sebagai akibat kemajuan yang dicapai; (2) karena kemacetan di berbagai bidang atau; (3) karena interaksi antara dunia modern dengan kebudayaan-kebudayaan kita di Indonesia; serta (4) sebagai akibat perubahan-perubahan sosial yang sedang berjalan dan yang akan bertambah besar dalam sepuluh, dua puluh tahun yang akan datang.

Maka terhadap latar belakang ini saya meninjau sebentar kedua persoalan tadi itu, yaitu pengaruh usaha-usaha kebudayaan kepada persatuan nasional dan kepada proses modernisasi Indonesia. Pertanyaan pertama yang harus kita jawab ialah: sampai dimanakah kita sudah berhasil mewujudkan suatu warisan kebudayaan nasional yang tunggal? Saya rasa inilah satu bidang dimana berbagai hal yang sebenarnya dapat kita kerjakan.

Diantaraanya ialah, penerjemahan secara sistematis karya-karya klasik daerah kedalam bahasa Indonesia, agar generasi-generasi baru akan dapat menyelami apa yang kita miliki sebagai dimensi tertentu dari kepribadian nasional kita. Kepribadian nasional itu merupakan akar dari dinamika sosial kita dan jangkar dari kebanggaan dari rasa harga diri sebagai bangsa. Tapi justru di bidang ini saya rasa banyak yang harus dikerjakan.

Kita juga dapat mengukur kemajuan yang telah kita capai ini pada perkembangan bahasa Indonesia sebagai suatu alat pemersatu dan sebagai alat pembaruan masyarakat. Tapi justru dewasa ini, seperti kita semua maklum, kemampuan kita untuk memakai bahasa Indonesia berkurang. Jumlah mereka yang ingin mencurahkan karirnya pada bahasa Indonesia kurang pula. Dan kita melihatnya pada universitas-universitas akan sebenarnya harus akan dapat mencerminkan kemampuan kita untuk merealisasikan persatuan bangsa. Kita melihat bahwa biarpun universitas-universitas daerah telah memegang peranan penting dalam mempersiapkan dan memantangkan calon-calon pemimpin masyarakat daerah untuk suatu peranan kepemimpinan, daan untuk menghadapi masalah-masalah daerah itu dengan suatu kesanggupan yang lebih besar, tapi kita juga melihat suatu kesanggupan yang lebih besar, tapi kita juga melihat suatu gejala lain yang saya rasa patut kita perhatikan pada  mala mini. Karena berbagai kelangkaan, telah timbul suatu situasi pada banyak universitas-universitas dimana kemungkinan dan kesempatan bagi beraneka suku bangsa untuk belajar bersama telah berkurang, karena homogenitas etnis universitas-universitas ternyata makin lama makin meningkat bukan saja pada tingkat guru-guru besarnyadan staf mengajarnya tapi juga pada tingkat mahasiswa. Padahal sekarang kita lebih memerlukan suatu generasi yang bukan saja memiliki pengetahuan modern, melainkan juga yang telah membiasakan diri untuk bekerja dan belajar bersama dengan melintasi garis-garis pemisahan suku yang tradisional.

Persoalan semacam ini tidak perlu menjadi masalah serius, asal kita dapat mengidentifikasikannya cukup pagi hari. Saya rasa suatu system pertukaran mahasiswa dan daerah-daerah lain, misalnya dengan menentukan suatu persentase tertentu di dalam masing-masing daerah yang harus ditepati oleh orang-orang dari daerah lain, akan membantu untuk tetap membuka pintu bagi kesempatan belajar bersama diantara suku-suku yang berlainan dan beranekaragam di Indonesia ini. Sebaliknya ada juga gejala-gejala yang menggembirakan. Sekarang universitas-universitas daerah diberi tugas untuk turut serta secara aktif dalam usaha planning-bukan saja planning daerah tetapi juga planning nasional. Dengan jalan ini universitas-universitas daerah akan lebih sanggup melihat masalah daerahnya dalam rangka gerak maju keseluruhan bangsa. 

Persoalan-persoalan yang saya gambarkan ini sebenarnya membawa kita kepada kesadaran bahwa di samping rasa persatuan dan kesatuan yang berakar pada perjuangan kebangsaan dulu, sebenarnya ada tiga jaringan birokrasi yang merupakan saluran utama rasa persatuan yang dihayati terus-menerus, yaitu birokrasi pamongpraja, sistem pendidikan, dan sistem ketentaraan. Ketiga sistem birokrasi ini sejak dahulu sebenarnya dengan merotasikan orang-orangnya menjamin bahwa pengalaman hidup dan kerja para pegawai seniornya dalam sturuktur pemerintahan tidak hanya meliputi satu daerah saja, dan tidak terbatas pada alam pikiran dan alam kebudayaan sukunya sendiri. Tapi inflasi dan berbagai kesulitan-kesulitandi bidang budget dan sebagainya diwaktu yang lampau telah menyebabkan bahwa dari ketiga sistem ini sebenarnya  pada waktu ini hanya sistem ketentaraan yang masih mempunyai kemampuan untuk mengadakan rotasi geografis. 

Selain dari masa warisan kebudayaan nasional tunggal, masalah bahasa Indonesia dan kemampuan universitas-universitas  untuk menjaga suatu orientasi yang meliputi seluruh Indonesia dalam menilai kemajuan atau kemacetan yang telah kita alami, kita harus melihat kepada soal mobilitas pada golongan pemuda. Di sini pun factor-faktor ekonomis merupakan suatu rintangan yang besar, namun tampak juga kurang kesadaran bahwa di dalam suatu Negara yang demikian luas seperti Indonesia, diperlukan usaha-usaha yang sadar dan sengaja untuk memperbesar mobilitas para pemuda. Mobilitas pemuda ini penting agar supaya pemuda-pemuda kita yang mengalami peristiwa-peristiwa yang mendorong ke arah persatuan dalam revolusi Indonesia, berkesempatan mencapai suatu kesadaran bahwa Indonesia lebih luas ketimbang lingkungan sendiri dan bahwa kebiasaan-kebiasan serta norma-norma yang ia kenal dari pengalamannya sendiri hanya merupakan satu unsur saja dalam spektrum beraneka ragam yang jauh lebih luas. Dalam hubungan ini maka turisme dalam negeri, khususnya untuk pemudah, keaktifan-keaktifan di bidang olahraga dan kesenian untuk pemuda perlu diperhatikan sebagai suatu kategori tersendiri. 

Tadi saya bicara mengenai bahasa Indonesia. Tapi kalau kita bicara mengenai bahasa, kita juga harus mengenai materinya, mengenai content-nya. Maka mau tak mau kita harus melihat juga pada keaadaan kehidupan intelektual dewasa ini. Saya yakin tidak ada yang akan memprotes kalu saya katakana bahwa kehidupan intelektual di Indonesia dewasa ini mengalami defisit yang sangat serius. Salah satu sebabnya barangkali karena kehidupan intelektual ini tidak dijadikan tugas khusus suatu departemen; seolah-olah usaha-usaha untuk menghayati kehidupan intelektual ini jatuh di antara dua kursi sehingga terlantar sama sekali. Dalam pada itu kita tidak bisa mengharapkan bahwa usaha-usaha pembangunan akan dapat terjaga momentumnya jikalau usaha pembangunan itu tidak dihayati, tidak didukung tidak berakar pada suatu kehidupan intelektual yang bergairah. Tapi dalam kenyataan ialah bahwa jumlah majalah-majalah intelektual hanya sedikit. Kekosongan itu untuk sebagian sekarang diisi, karena kemajuan umum di bidang ekonomi, oleh beberapa surat kabar. Tetapi hampir tidak ada suatu kesempatan bagi golongan intelegensia untuk mempertanggungjawabkannya secara publik atas gagasan-gagasan yang sekiranya dianggap penting untuk masyarakat Indonesia; suatu forum dimana dia dapat ditentang, dimana dia dapat membela diri, dimana gagasan-gagasan itu bisa diuji. Begitupun dalam dunia profesional kesempatan semacam itu hamper tidak ada. 

Professional journal merupakan suatu bidang yang jika tidak diisi akan membikin usaha riset dan segalah didikan universitas tidak ada artinya, hanya omongan belaka, yang tidak diuji secara publik, yang tidak diuji oleh masyarakat luas sampai dimana keahlian seorang sarjana hanya dapat didasarkan pada ukuran-ukuran yang subjektif. Dengan jalan demikian reputasi keahlian seorang lebih ditentukan oleh permainannya dalam birokrasi-birokrasi. Hal ini akan lebih memperkuat sisa-sisa suasana feudal yang juga masih meliputi alam suasana golongan intelegensia Indonesia. Saya yakin bahwa kita tidak akan bisa menghadapi keperluan-keperluan rencana pembangunan lima tahun kedua atau ketiga, tanpa usaha-usaha yang sunggu untuk menggairakan kehidupan intelektual Indonesia.

Dalam buku kanak-kanak yang dapat mempengaruhi motivasi generasi yang akan datang dan yang juga mempengaruhi cara-cara melihat realitas, sampai pada suatu dinas penerjemahan ilmiah yang dapat membuka pintu bagi universitas-universitas dan mahasiswa-mahasiswa untuk mengikuti kemajuan-kemajuan yang telah dicapai di dunia luar; sesuatu yang hingga saat ini, boleh dikatakan, tidak terbuka kesempatannya karena kemerosotan dalam pendidikan bahasa asing. 

Perlu juga dirumuskan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dapat secara lebih efektif memanfaatkan media yang baru. Kalau kita lihat pada TV sekarang ini misalnya, kita menyadari bahwa barangkali baru dipakai lima persen saja dari kemampuan medium ini, untuk mendidik dan untuk  membuka mata banyak orang. Kebanyakan waktu TV diisi untuk hiburan yang mutuhnya setengah-setengah saja. Begitu pun potensi yang pada film, pada cassette-cassete tape; pendeknya semua potensi di bidang elektronis yang baru, dan yang tidak usah mahal, belum dimanfaatkan sebelumnya. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa tanpah suatu usaha yang lebih terarah dan efektif untuk mengarahkan kehidupan intelektual, maka segala usaha pembangunan lainnya akan macet. Pembangunan ini tidak lain daripada mendinamisasikan kekuatan-kekuataan masyarakat, ia bukan sekedar mengadakan proyek-proyek. 

Jika kita berbicara mengenai persatuan dan kebudayaan nasional kita tidak bisa bicara tanpa membicarakan sekaligus kebudayaan daerah. Pemupukan persatuan tidak mungkin tanpa imbalannya. Pemupukan kebudayaan nasional Indonesia tidak mungkin tanpa menggairahkan kembali kebudayaan-kebudayaan daerah. Sudah barang tentu relasi dan interaksi antara kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah selalu akan selalu berubah, selalu perlu didefenisikan, dan selalu akan harus dipertentangkan kembali. Kerena tanpa ketegangan yang kreatif tanpa kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah, saya yakin dinamika dari perkembangan kehidupan kebudayaan kita akan berkurang. Terjemahan-terjemahan yang saya sebut tadi dari karya-karya klasik daerah, bukan saja akan menggairahkan kebudayaan nasional, tapi juga akan memberikan stimulans yang sangat penting kepada kebudayaan daerah. Sebab seperti pembangunan regional merupakan pelengkap pembangunan nasiona, maka mau tak mau motivasi dari pembangunan daerah itu harus berakar pada kesadaran kebudayaan daerah di samping kesadaran kebudayaan nasional. Saya mengira bahwa cara-cara untuk mencapai tujuan itu tidak terlalu sulit, dan tidak terlalu memakan biaya. 

Salah satu hal yang dapat di kerjakan ialah dekonsentrasi museum-museum kita, sehingga barang-barang yang sekaraang  bertumpuk-tumpuk dalam museum pusat kita yang kekurangan tempaat pertunjukan, lebih baik dikembalikan ke daerah dan dijadikan perangsang untuk kehidupan daerah kembali. Begitupun kita merangsang kesadaran sejarah yang ada pada daerah sendiri, dan kita harus usahakan adanya moumen-monumen historis daerah yang dapat menegaskan kepribadian daerah itu dalam keanekaraman nasional Indonesia. Begitu pun perlu dirangsang kembali penyelidikan dan penulisan sejarah. Sejarah adalah salah satu ilmu pengetahuanyang tidak terbatas sumbangannya kepada ahli-ahli. Sejarah adalah milik masyarakat, dan setiap wargaa negaara dapat memberi sumbangan pada usaha penyelidikan dan penulisan sejaarah.jika ada ahli-ahli sejarah yang mengatakan bahwa hanya ahli-ahli yang berbicara tentang sejarah, saya rasa, sejarah tentang penulisan sejarah menunjukkan dengan secukupnya betapa sah mereka itu, dan bahwa sumbangan-sumbangan yang penting juga telah di berikan oleh orang awam biasa. 

Juga usaha linguistik dapat turut menggairahkan kebudayaan daerah dengan sendirinya juga art centres di daerah dan pada umumnya usaha-usaha di dalam performing arts. Lepas dari persoalan turis-turis asing tidak kunjung datang, turisme dalam negeri tidak kurang pentingnya justru bagi mereka itulah kita harus menggairahkan performing arts daerah. 

Sampailah kita kepada masalah kedua,  yaitu masalah modernisasi. Istilah ini sudah sering diipakai dan sering di salahgunakan, jadi tidak perlu saya memberikan suatu defenisi di sini. Yang cukup kita rincikan di sini hanya beberapa faktor yang telah mempengaruhi proses itu. Pertama tentu saja pendidikan,  termasuk sistem pendidikan, orientasi pendidikan, dan content (isi) pendidikan itu. Biarpun mutuhnya menurun, tidak dapat di sangkal bahwa perluasan pendidikan yang telah terjadi sejak proklamasi kemerdekaan merupakan suatu faktor yang juga mempercepat proses moderenisasi, biarpun dengan distorsi-distorsi tertentu yang akan saya bicarakan nanti. 

Faktor kedua, yang sangat penting, yaitu faktor pembangunan itu sendiri. Usaha pembangunan mau tak mau memaksa semua pembangunan yang ada di dalamnya, untuk menjadi lebih sadar mengenai tujuan proyek yang di kerjakannya. Jadi sense of purpose-nya menjadi lebih terang; juga kemampuannya untuk mengadakan pilihan-pilihan yang rasional, lebih-lebih karena kalangan dana-dana: karena pembangunan manusia Indonesia dipaksakan untuk mengadakan kuantifikasi. Begitupun rasa waktu berubah. Dan karena kompetensi dan karena kesulitan hidup umumnya,juga orientasi kepada achievement dan bukan lagi kepada status, semakin cepat menjadi ukuran bagi hasil kerja orang. Orientasi kehari depan dalam tahun-tahun akhir ini telah meningkat. 

Tetapi sebaliknya kita juga melihat munculnya suatu pola konsumsi yang sebenarnya disfunctional,    yang sebenarnya tidak membantu malahan akan menghalangi pembangunan selanjutnya. 

Kita melihat suatu kecenderungan kea rah jor-joran, kearah kompetisi mempertontonkan kemewahan di dalam lingkungan elit kecil. Tingkat dan pola konsumsi ini pasti akan menimbulkan kecenderungan-kecederungan dan harapan-harapan masyarakat luas, yang tidak bakal dapat di penuhi juga jika kita sudah lebih maju di dalam pembangunan usaha kita nanti. 

Disamping faktor pendidikan dan faktor pembangunan, ada juga faktor ketiga yang telah mempercepat proses moderenisasi Indonesia, tetapi yang juga telah menimbulkan kebingungan-kebingungan dan bermacam-macam ketegangan, dan bahkan dalam beberapa hal, telah menimbulkan konflik-konflik sosial. Factor ketiga itu adalah terbukanya Indonesia (opennes). Benar kita lihat bahwa keterbukaan ini telah membawa beberapa akibat negatif pada sebagian golongan mudah kita. Tapi bagi saya hal itu tidak menjadi alas an yang cukup untuk menutup Indonesia kembal. Menurut pendapat saya persoalan bukan pada bahaya pemuda Indonesia akan kehilangan kepribadian Indonesia, melainkan perlunya penegasan mengenai peranan positif bagi golongan muda dalam usaha pembangunan Indonesia. Bukan usaha-usaha untuk sekedar mencega jangan sampai mereka main-main dijalan, mengebut, atau menjalankan pelangaran macam-macam, tapi kesempatan untuk menjalainka peranan yang berarti (a meaningful role)  dalam usaha pembangunan. Saya itu yang diperlukan. Dan dalam peranan itu segi keaktifan-keaktifan dibidang seni merupakan salah satu bidang yang belum cukup kita gunakan sebagai wadah dimana generasi muda dapat menyatakan diri, dapat mewujudkan kepribadiannya sendiri, yang berlainan dari kepribadian dari generasi-generasi tua.

Terbukanya Indonesia ini juga menghadapkan kita pada persoalan-persoalan yang timbul pada studi mengenai Indonesia oleh sarjana-sarjana asing di sini saya ingin menegaskan pendapat saya bahwa terbukanya Indonesia untuk sarjana-sarjana asing penting untuk dipertahankan. Memang pengalaman kita tidak selamanya enak, pahit kadang-kadang konklusi-konklusinya, tetapi saya rasa manfaatnya sangat besar bagi suatu kebudayaan  untuk melihat aktualisasinya dalam cermin suatu kebudayaan lain. Juga peningkatan profesionalisme yang bisa timbul dari adanya sarjana-sarjana asing dalam lingkungan kita itu penting. Sebaliknya kita juga harus menyadari bahwa jika kita hanya tergantung pada analisis, penilaian, dan konsepsi-konsepsi tentang Indonesia yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana asing di Indonesia, selain kita akan menikmati dampak di samping pandangan-pandangan mereka itu, distori-distori yang mau tak mau akan timbul sebagai akibat perbedaan kebudayaan. Maka kehadiran sarjana-sarjana kita untuk mencapai suatu tingkat kreativitas ilmiah orisinil yang lebih tinggi, lebih jauh dari itu sangat perlulah sarjana-sarjana kita lebih membuka dialog dengan masyarakat kita sendiri, dialog dengan sejarah kita sendiri, dialog dengan realitas sosial kita sendiri. Justru karena mereka orang Indonesia, mereka harus dapat menyinari persoalan sosial Indonesia  dari sudut lain, yaitu dari sudut aspirasi-aspirasimaupun rasa sejarah nasional, yang memang asing bagi seorang asing.

Terbukanya Indonesia juga telah membawa tantangan-tantangan terhadap kebudayaan-kebudayaan daerah dan macam-macam reaksi terhadap tantangan-tantangan itu. Kita lihat gejala-gejala kelumpuhan, tapi juga gejala yang mencerminkan suatu revitalisasi dari beberapa kebudayaan tradisional. Saya sering ditanya: apakah hari kebudayaan Bali? Apa bali nanti tidak rusak karena turis-turis yang berduyun-duyun akan dating di bali. Saya tidak merasa khawatir semacam itu, karena apa yang paling menonjol, menurut penglihatan, saya, di bali adalah suatu revitalisasi, suatu peningkatan rasa harga diri pada orang-orang bali. Kita sekarang melihat betapa kuatnya kebudayaan bali itu. Diantara proyek-proyek transmigrasi yang berhasil, kebanyakan dari orang-orang bali. Kita juga melihat suatu kegairaan kehidupan baru dari agama hindu bali; kita malah melihat refleksinya di jawa. Juga di jawa kita dapat melihat berkembangnya kembali keaktifan-keaktifan di bidang kejawen atau kebatinan, termasuk agama sunda di daerah sunda. Kita harus melihatnya sebagai manifestasi dari suatu peningkatan kesadaran religious  kosmis yang berakar  pada sumber-sumber kebudayaan asli dan yang dirangsan oleh persoalan-persoalan yang dipertentangkan oleh dunia dan kehidupan modern. Penjelmaan religiusitas humanistis jawa sunda ini, yaitu suatu heileer, suatu cosmische orientatieleer, saya rasa, perlu    ditanggapi secara serius, sebagai suatu respon positif dari proses akulturasi yang berlangsun di jawa. Saya tidak mengatakan bahwa tidak ada segi-segi patologis dalam dalam perkembangan itu. Setiap proses peralihan menunjukkan segi-segidan gejala-gejala yang bisa dianggap patologis. Tetapi saya rasa penting kita melihat perkembangan dalam kejawen sebagai suatu respon positif terhadap tantangan kehidupan modern dan terhadap tantangan yang dilontarkan oleh keinginan kita untuk membangun. Sebaiknya pemerintah menanggapi perkembangan ini secara serius, sebagai suatu manifestasi religiusitas asli yang biarpun dia tidak terkait pada suatu kitab suci, sangat penting potensi kreatifnya.

 Mengapa saya sebut gejala-gejala? Karena usaha pembangunan hanya dapat berhasil jika usaha itu tidak dilihat sebagai suatu kejadian, suatu perkembangan yang asing, yang asing terhadap kebudayaan kita sendiri, yang tidak hidup, yang tidak ada akar atau arti dalam system nilai yang ada dalam masyarakat kita. Pengalaman berbagai Negara-negara miskin yang sedang membangun telah menunjukan bahwa jika usaha pembangunan itu hanya dilihat sebagai pelaksana proyek-proyek ekonomi saja maka setelah bantuan dari luar berhenti, macetlah usaha itu, karena tidak ada api yang menjalankan dinamika sosial dalam masyarakat yang mau membangun itu.

Pada hakikatnya cirri pokok dari usaha pembangunan bukan proyek-proyek bantuan luar negeri, dan bukan investasi modal asing, hakikat pembangunan ialah gerak majunya suatu sistem sosial menghadapi tantangan-tantangan baru. Dan hal itu hanya mungkin jika ada perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan dalam mayarakat itu sendiri dan didalam system nilai tradisionalnya. Maka pembangunan tidak terpeca dengan tradisi atau dengan sejarah, melainkan suatu tali-tali kontinum yang berkeinambungan. Hal ini penting pula untuk disadari    jika kita berhadapan dengan apa yang dinamakan masalah islam, bahkan saya tidak melihat Indonesia membangun tanpa turut aktifnya semua kekuatan agama di Indonesia, termasuk Islam, Kristen, Hindu, Bali, termasuk pula golongan jawa “abanga” berorientasi kejiwaan . makin kita mendekati akhir abad ke-20 ini, makin nyata bahwa pola pembangunan Negara-negara industrial seperti Amerika, Eropa, Uni Soviet, maupun Jepang, tidak bakal bisa dan memang sebaiknya jangan diulangi di Indonesia. Hal ini berlaku untuk semua Negara miskin yang besar jumlah penduduknya. Mau tak mau kita akan harus mencari pola pembangunan sendiri. Dunia industrial sekarang mengalami berbagai kesulitan yang menunjukkan bahwa merekapun tidak akan dapat meneruskan pertumbuhaneksponensial secara terus menerus.mereka tidak akan dapat terus memajukan teknologi, tidak dapat terus meningkatkan tingkatan hidup tanpa lebih memperbesar perbedaan antara negar-negara kaya dan Negara-negara miskin, tanpa lebih memonopoli bahan-bahan mentah didunia. Padahal sekarang sudah mulai kelihatan bahwa dalam waktu tidak terlalu lama, antara 50 sampai 70 tahun, kita akan berhadapan dengan kemungkinan besar adanya suatu krisis jumlah penduduk dunia, juga krisis bahan-bahan mentah, disamping krisis yang disebabkanoleh pengotoran pengrusakan lingkungan hidup manusia yang membahayakan berlangsunya kehidupan umat manusia di dunia. Maka mau tak mau  Negara-negara kaya akan mencoba mengatur sistem ilmu dan teknologi   yang tidak terkendalikan sekarang ini, agar supaya teknologi itu kembali dapat melayani keperluanumat manusia dan kemiskinan 2/3 umat manusia , dan bukan hanya pasaran-pasaran 1/3 umat manusia yang sudah kaya.

Sekarangpun sudah terang bahwa tidak aka ada cukup bahan menta, dan pengrukan lingkungan hidup manusia akan mencapai titik bahaya kalau seluruh manusia akan mencapai tingkat kehidupan yang sekarang sudah di capai oleh Amerika serikat dan Eropa. Mulai terang bahwa seluruh dunia akan harus mencari suatu tingkat serta cara dan tata susunan hidup yang lebih sederhana, yang tidak demikian rakus dalam penggunaan sumber-sumber alam dan tidak demikian merupakan sikarang stem-sistem kehidupan alam. Suatu tata suunan internasional yang dapat menjamin suatu pembagian tingkat kehidupan yang lebih merata dan adil di seluruh dunia.

Krisis kebudayaan yang sekarang melanda Negara-negara kaya juga menunjukan bahwa bukan hanya biaya ekologis tapi juga biaya psikologis cultural bagi masyarakat modern mungkin terlampau besar dan tidak dapat di pertahankan. Kita dapat melihatnya dari reaksi generasi-generasi muda. Mereka ini umumnya menolak kemewahan, menolak keterikatan pada benda dan barang-barang lux; mereka sedang mencari kembali makna hidup, biarpun dengan cara  yang kadang-kadang aneh atau berbahaya. Mereka sangat memboroskan kemampuan dan kekuatannya sendiri, dan banya di antara mereka merusakkan diri sendiri dalam pencarian itu. Tetapi bagaimanapun juga, persoalan tentang apa makna hidup kita masing-masing, apa makna hidup suatu masyarakat, dan bentuk masyarakat apa yang dapat menjelmakan makna itu bagi kita di Indonesia merupakan suatu persoalnya. Kita dihadapkan pada persoalan itu bukan karena kekenesan intelektual, melainkan karena kita tidak dapat menutupkan  mata untuk dua hal. Yang pertama ialah bahwa dalam tiga puluh tahun yang akan datang,     artinya dalam masa hidup anak-anak kita, jumlah bangsa Indonesia akan berlipat ganda. Persoalan kedua ialah bahwa dalam Negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia ini, yang jumlah penduduknya besar, ternyata industrialisasi saja tidak akan dapat mengatasi masaalah unemployment. Maka ternyata asumsi-asumsi yang menjadi landasan pemikiran kita dulu, yaitu bahwa asal kita bisa mengadakan kesempatan kerja yang menjamin kehidupan layak untuk semua, tidak betul.maka kita akan harus mengembangkan suatu strategi pembangunan yang akan memungkinkan masalah  unemploymeni    ini diatas, bukan saja dengan usaha-usaha yang terbatas pada perluasan sektor modern, tapi juga dengan menggairahkan kembali sektor-sektor tradisional. Artinya pembangunan desa dan daerah pedeaan. Pembangunan desa juga merupakan salah satu cara penampungan jumlah penduduk yang berlipat ganda itu. Maka “pembangunan desa” bukan sekedar “ slogan”,tapi lebih jauh dari itu. Perubahan-perubahan yang di perlukan bukanlah sekedar penyesuaian-penyesuaian dalam rencana-rencana pembangunan melainkan juga perubahan-perubahan yang sangat mendalam dalam orientasi terhadap alam, masyarakat, dan terhadap “hidup” pada umumnya.

Lulusan unuversitas-unuversitas di Indonesia misalnya makin lama makin berorientasi pada kota-kota. Harapan-harapan mereka tentang pekerjaan karir, tingkat hidup, serta gaya hidup seolah-olah terikat pada kota. Padahal makin terang bahwa semakin besar masyrakat Indonesia adalah masyarakat pedesaan dan bahwa keselamatan bangsa Indonesia tergantung bukan saja dari kemampuan kita memperluas sektor modern, tapi juga pada kemampuan kita mengairahkan kembali dan memperkuat kehidupan di desa-desa. Jadi yang di perlukan ialah suatu perubahan mentalitas secara mendalam. Di sinilah diantaranya letak hubungan antara nilai-nilai dan politik kebudayaan pad satu pihak dengan politikpembangunan yang kita perlukan. Yang kita perlukan ialah suatu pola pebagunan yang employment oriented; yang mengutamakan keadilan sosial, dan memperkuat kesanggupan  untuk berdiri diatas kaki sendiri ( self reliance). Disamping itu di perlukan perencanaan sosial, yang diantaranya meliputi politik penduduk, jumlah penduduk yang menyebar di Indonesia dan usaha-usaha transmigrasi. Yang di perlukan ialah,pad intinya, perencanaan yang meliputi ruang dan lingkungan. Kita haarus berpikir ke arah pengembangan kota-kota pada giliranya bisah mengalirkan arus urbanisasi yang sekarang tertujuh ke Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Pengembngan kota-kota pasaran kecil di daerah pedesaan, desentralisasi indutri, sehingga tidak terbatas kepada ketiga kota ini. Kota-kota ini hendaknya menjadi counter growth poles, suatu unsure utama dalam social and spatial planning untuk Indonesia.bergandengan dengan usaha ini perlu diberi perhatian yang lebih sungguh-sungguh pada yang dinamakan intermediate technology.Kita harus mengembangkan bukan saja kemampuan untuk menggunakan teknologi yang paling tinggi (high technology), tetapi teknologi menengah, langsung hubungannya dengan kehidupan dan keperluan-keperluan desa, dan dengan kemempuan serta sumber-sumber yang ada di desa, termasuk daya belinya, dalam hubungan ini kita juga akan harus meninjau system pendidikan kita. Sekarang nyata sudah bahwa sistem pendidikan kita tidak mampu untuk turut meluas bersamaan dengan lajunya pertambahan penduduk. Sekarang pun 34 persen dari jumlah anak-anak yang mencapai umur sekolah, tidak bisa masuk sekolah, dan dari mereka yang bisa masuk sekolah lebih dari separuh keluar dari tengah jalan. Apakah di hari depan kita keadaan semacam ini akan terus begini, atau lebih suram lagi? Apakah di hari depan, kita akan mempunyai dua macam warga Negara, yang kelas dua terdiri dari mereka yang tidak sempat masuk sekolah? Persoalan yang kita hadapi ini bukan persoalan yang kecil; bukan suatu persoalan yang dapat dipersalahkan kepada mentri pendidkan semata. Karena persoalannya jau lebih besar dari itu. Pada intinya sistem pendidikan kita terlalu mahal; terlalu mahal unyuk diperluas sehingga bisa meliputi seluruh angkatan muda Indonesia bersamaan terus melonjaknya jumlah penduduk. Sistem pendidikan kita itu juga salah orientasinya, karena justru pendidikan yang didapatnya di sekolah maka unsur-unsur yang paling dinamis di desa-desa pada lari ke kota mencari pekerjaan yang tak kunjung datang. Jadi reorientasi sistem pendidikan serta perubahan-perubahan di dalam sistem sehingga menjadi lebih murah,itulah opgave, tantangan yang harus dijawab oleh politik kebudayaan kita. Kita harus meninjau kembali cara-cara mengajar, cara-cara kita menyampaikan pengetahuan, dan memberdayakan kemampuan kepada generasi-generasi berikutnya.Kita harus berani untuk mempragmatiskan pengajaran;kita harus meruntuhkan tembok yang memisahkan sekolah dari masyaraka. Pengajaran harus menjadi bagian dari partisipasi dalam kehidupan dan perkembangan masyarakat. Bukan karena dengan demikian relevansi pengajaran akan menjadi lebih besar, tetapi juga karena metode semacam itu akan lebih murah, akan lebih sesuai dengan batas-batas sumber ekonomi kita. Demikian pula internal braindrain tadi bisa dikurangi. Dengan perubahan-perubahan di bidang-bidang ini maka kita juga akan dapat melawan kecenderungan untuk mengadakan dua sistem pendidikan: satu di luar sekolah dan satunya di sekolah-sekolah. Sebab suatu Negara yang semiskin seperti Indonesia ini tidak mampu memelihara dua sistem pendidikan sekaligus.

Sekolah-sekolah kita juga akan harus lebih dapat mempergunakan dan mengembangkan intermediate technology (teknologi menengah) yang di perlukan untuk pengembangan desa. Pokoknya kita harus mencari cara yang lebih murah dan lebih efektif untuk menyampaikan suatu yang disebut bingkisan pengetahuan dan ketrampilan (packages of knowledge and skill) yang meliputi fuctional literacy, yaitu kemampuan untuk membaca dan menghitung sesuai dengan keperluan kehidupan. Bingkisan itu diantaranya harus juga meliputi pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan guna mempertinggi kemampuan lokal untuk menjaga lingkungan hidup setempat, serta pengetahuan teknis sederhana yang sesuai dengan keperluan pembangunan desa.     

Teranglah bahwa sangat perlu mengadakan beragam eksperimentasi, baik mengenai cara-cara pengajaran maupun mengenai teknologi baru yang dapat di manfaatkan oleh pendidikan. Teknologi baru yang dapat meningkatkan efektivitas pengajar dan pengaran.Namun masih cukup murah sehingga dapat dipakai di seluruh Indonesia. Teknologi itu misalnya meliputi alat-alat media seperti film, kaset, dan sebagainya. Eksprimentasiini hendaknya jangan dadakan di lembaga-lembag riset dan pendidikan saja, dan jangan diserahkan kepada departemen pendidikan saja, melainkan dijalankan oleh guru-guru sendiri di sekolah-sekolah. Banyak sekali yang akan tergantung dari gairah para guru untuk mencoba cara-cara baru dalam menghadapi tantangan-tantangan kehidupan setempat.

Mungkin suatu strategi pembangunan seperti saya gambarkan tadi,beserta politik kebudayaan yang harus mendukungnya, dilaksanakan dengan tetap mempertahankan keterbukaan Indonesia bagi dunia  internasional? Pola pembangunan khas yang terjelma di RRC, hanya mungkin karena dilaksanakan dalam suatu keadan tertutup, terisolasi. Tapi saya rasa, isolasi bagi Indonesia tidak mungkin karena geografinya,dan tidak sesuai dengan nilai-nilai kepribadian bangsa kita. Namun, bagaimanapun sulitnya melaksanakannya dalam suatu situasi terbuka, kita akan harus dapat melaksanakan pola pembangunan kita sendiri, termsuk pengembangan teknologiyang diperlukan untuk pola itu, jika kita tidak mau menjadi terlalu tergantung dari kekuatan ekonomi dan politik Negara-negara industry kaya. Hal itu hanya mungkin jika pola pembangunan sendiri dipegang  secara teguh, jika displin nasional serta solidaritas sosial bangsa Indonesia terus dapat dipertahankan. Ini berarti bahwa perbedaan antara kaya dan miskin di negeri kita perlu dijaga agar jangan sampai menjadi terlampau besar dan terlalu menyolok. Ini berarti pula bahwa kita jangan melihat pola dan tingkat material kehidupan negara-negara industri sekarang ini,sebagai pola satu-satunya yang harus kita contoh. Pola pembangunan khas Indonesia. Dalam pola kita harus senantiasa menjaga supaya pembangunan tidak berangsur menelurkan suatu elite kecil, yang mengambil manfaat berlebih-lebihan dari hasil pembangunan, dan yang hidup pada tingkat kemakmuran internasional yang sangat menyolok, yang banyak berbeda dari tingkat hidup masyarakat banyak, dan yang pada hakikatnya dysfunctional dalam usaha pembangunan kita.

Proporsi persoalan ini, dan pentingnya dalil: keadilan sosial, menjadi menjadi lebih terang jika kita renungkan masyarakat Indonesia macam apa yang harus kita bayangkan sebagai hari depa kita. Gambaran itu mau tak mau akan dipengaruhi oleh penambahan jumlah penduduk kita dua kali lipat dalam 30 tahun yang akan datang. Dapatlah dalam hubungan ini dikatakan bahwa Indonesia pasti akan maju, tapi kemajuan itu – diukur per kapita – akan lambat karena lajunya pertambahan jumlah penduduk. Maka dengan segala kemajuan yang kita capai itu, tidak kalau kita menbayangkan bahwa dalam 20 atau 30 tahun yang akan datang kita bisa mencapai tingkat kehidupan material internasional. Kita harus cukup berani untuk menyadari hal itu.Kita secara sadar harus membina dan menyongsong suatu masyarakat Indonesia yang modern; yang maju tapi sederhana, dalam arti sanggup hidup dalam batas-batas resources yang ada pada kita. Kita akan harus membayangkan suatu masyarakat modern yang mampu dalam ilmu pengetahuan, teknologi tinggi, maupun menengahnya, dimana kita bisa mencapai kecukupan (sufficiency) dalam barang-barang buatan. Kecukupan untuk masyarakat luas dan kemewahanuntuk suatu elite kecil. Yang harus kita tuju ialah kecukupan dalam hal-hal material, tetapi kekayaan dalam bidang-bidang yang member arti kepada kehidupa manusia.   

Pendeknya suatu masyarakat adil makmur dalam batas-batas tingkat kemajuan dan sumber-sunber kita. Untuk mencapai dan memelihara masyarakat itu nilai-nilaiyang akan kita perlukan ialah, diantaranya, kesanggupan untuk hidup sederhana, kemampuan untuk membatasi diri, kemampuan untuk menghormati dan menyegani kemiskinan orang lain. Kita harus meningkatkan kesanggupan kita untuk menjelmakan keadilan sosial bukan saja sebagai suatu cara, dan mungkin juga cara satu-satunya, untuk mencegah macetnya usaha pembangunan Indonesia pada suatu ketika. Kita akan harus menyadari bahwa lingkungan hidup sebagian besar bangsa Indonesia akan padat, penuh orang. Makanya diperlukan sebuah tali solidaritas (sosial). Tidak cukup lagi kiranya tata cara hidup bersamayang berlainan, yang akan lebih memungkinkan kita hidup secara rukun, kreatif, dan berbahagia dalam suatu lingkungan yang padat manusia Indonesia akan harus belajar pula memelihara dengan sekuat tenaganyang berimbang dengan alam, yang sekarang pun sudah rusak tetapi juga hubunganya dengan sesame manusia dalam suatu imbangan baru antara hak-hak asasi dengan kewajiban-kewajiban sosial manusia yang cocok untuk suatu masyarakat yang padat. Dan selain itu tentu diperlukan seif reliance sebagai nilai. Bukan sikap ketergantungan yang hanya mencari pekerjaan dari pemerintah, bukan ketergantungan yang mencari perjaan-pekerjaan yang mana dan pasti saja, melainkan keberanian untuk mewujudkan kehidupan sendiri, keberanian pelopor, keberanian pionir.                 Supaya mampu menghadapi tantangan-tantangan ini, akan diperlukan juga kemampuan untuk mengadakan pembaruan-pembaruan, innovative capability yang lebi besar. Universitas-universitas kitala yang seharusnya menjadi wada bagi innovative capability masyarakat kita. Universitas-universitas kita dewasa ini nampaknyabelum merupakan wada semacam itu, biarpun ad cukup tanda-tabdayang menunjukkan bahwa potensinya ada. Persoalanya, kita harus berani mengutamakan tujuan ita dalam skala prioritas kita, dan kita harus berani membuang gejala-gejala konformisme dan formalisme yang masi banyak terdapat di universitas-universitas karena hubungan feudal antara guru dan mahasiswa.

Akhiranya masi ada satu hal yang saya ingin kemukakan, yaitu sebagai berikut; nilai yang paling penting yang harus kita kembangkan dan harus kita pegang menghadapi tantangan-tantangan yang saya gambarkan tadi itu, ialah keberanian untuk merasa optimis; optimismeadalah perjuangan untuk mendorong terciptanya suatu nilai kehidupan berbangsa. Sikap inilah yang akan menentukan berhasil atau gagalnya usaha pembangunan kita. Saya tela banyak bicara mengenai nilai-nilai.    Politik kebudayaan macam apaka yang dapat mengembangkan dan menegaskan nilai-nilai ini?saya tidak tahu. Tidak adaj jawaban yang pasti untuk itu. Tapi ada beberapaba yanga dalam pikiran saya, tetapi ingat bahwa bayangan bukan suatu jawaban. Namun satu hal agaknya sudah terang bahwa di seluru dunia, baik Negara-negara industry maupun Negara-negara miskin, pokoknya semua bangsa,sedang mecari sistem-sistem sosial yang berlainan dari yang mereka miliki. Sistem yang sekarang ada, seanya dipertahankan, kita semua mencari wujud-wujud masyarakat yang lain, yang berlandaskan nilai-nilai lain pula. Saya rasa dalam pencarian itu kita di Indonesia akan dapat menarik banyak faidah dari penggalian kembali nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan tradisional kita masing-masing, maupun dari pelajaran-pelajaran yang dapat kita tarik dari pengalaman-pengalaman Negara industrial yang sekarang, saya tadi tela menunjuk kepada berbagai kemampuan kebudayaan-kebudayaan tradisional kita untuk memberikan respons, biarpun respons itu tidak selalu atau belam relefan. Marila saya beri contoh relefansi suatu kebudayaan tradisional. Sekali ini bukan kebudayan jawa. Seperti perna diceritakan kepada saya oleh Rosihan Awar, ada suatau pepatah yang menggambarkan cita-cita masyarakat dalam kebudayaan Minangkabaau, yaitu, pasar yang ramai, masjid yang makmur atau penuh, tetapi air yang jerni. Saya yakin dalam kebudayaan tradisional kita masing-masing banyak kekayaan yang dapat kita gali kembali. Yang dapat menempatkan kemabali manusia serta kebahagiaannya sebagai intisari usaha pembangunan dan perwujudan masyarakar Indonesia.

Saya sengaja tidak berusaha member jawaban-jawaban pesoalan-persoalan yang saya kemukakan ini: maksud saya tidak lain hanyalah memperluas dimensi diskusi mengeni kebudayaan yang menjadi perlu karena perubahan-prubahan yang mendalam dalam masyarakat kita, baik sekarang maupun nanti. Dalam berpikir tentang kebudayaan kita, harus melihat baik ke depan maupun ke belakang. Kita harus menyadari factor-faktor sosial dan demokrafis yang akan turut mempengaruhi hari depan kita. Di samping itu perlu pula kita menyelami kembali kepribadian bangsa kita sendiri, termasuk aspirasi-aspirasinya. Namun,pada akhirnya perlu kita sadari bahwa nasib bangsa Indonesia juga menjadi bagian dari nasub umat manusia daiam keseluruhanya. Yang kaya dan yang miskin di dunia ini sekarang terikat satu sama lain dalam suatu interdependensi total. Dan inilah zaman kesempatan, baik tantangan maupun sumber kekuatan kita, yang harus kita rebut.

 

  • Bagikan