Oleh: Nengsih Sri Wahyuni (Dosen Psikologi UNIMUDA Sorong)
Setiap manusia memiliki beberapa fase kehidupan. Setiap anak manusia memulai fase kehidupan di dunia dengan dilahirkan lalu mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda-beda pada setiap keluarganya masing-masing. Disadari atau tidak, pada setiap tahapan kehidupan anak akan banyak belajar dari lingkungan keluarga. Mulai dari proses interaksi sehari-hari hingga proses pengambilan keputusan dalam keluarga. Seringkali dari keluarga maka anak kan mencontoh dan menjadikan orangtua sebagai teladan, khususnya dalam berperilaku.
Pada fase selanjutnya, setiap anak akan belajar menjadi individu yang lebih aktif karena keharusan beraktifitas di sekolah. Tak hanya dengan teman sebaya, setiap anak akan belajar nilai baru yang ia serap dari interaksinya dengan teman bermain ataupun interaksi dengan guru. Setelah melewati proses sosial yang lebih luas maka bisa dipastikan keterampilan individu akan terus menerus mengalami peningkatan.
Bagian yang perlu digaris bawahi pada tulisan ini yakni, jika anak-anak mampu menyerap nilai-nilai sosial dengan baik pada masa kecil, maka bisa diyakini anak tersebut juga akan memegang nilai-nilai tersebut hingga ia tumbuh menjadi dewasa. Namun, hal yang disayangkan yakni tidak semua anak mampu menyerap nilai-nilai tersebut saat kecil, sehingga padasaat dewasa bisa jadi akan terjadi masalah pada keterampilan sosialnya.
Manusia bertumbuh dan berkembang dari fase ke fase dengan tidak meninggalkan nilai-nilai kehidupan yang ia peroleh pada fase kehidupan sebelumnya. Keterampilan sosial yang bermasalah bisa diidentifikasi dari beberapa perilaku yang tidak sehat secara psikologi, misalnya perilaku bullying atau yang lebih akrab disebut dengan perundungan.
Olweus dalam bukunya mendefinisikan bullying sebagai masalah psikososial dengan menghina dan merendahkan orang lain secara berulang-ulang dengan dampak negatif terhadap pelaku dan korban bullying di mana pelaku mempunyai kekuatan yang lebih dibandingkan korban(Olweus, 1999).
Secara ilmiah perundungan diartikan sebagai perilaku kekerasan kepada orang lain yang dianggap lebih “lemah”, baik secara psikologis maupun secara fisik. (Ela, Sahadi dan Meilanny, 2017). Sedangkan berdasarkan pemahaman yang dituliskan Olweus menjelaskan bahwa perundungan merupakan murni masalah psikososial yang diekpresikan dengan menghina, merendahkan orang lain secara terus menerus. (Olweus, 1999).
Data mencengangkan juga dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak bahwa di 18 Provinsi kasus bullying di sekolah menempati urutan kedua setelah kasus kekerasan pada anak yang terjadi dalam keluarga. Data ini harus menjadi perhatian serius oleh para ilmuan psikologi sebab perilaku perundungan mempunyai sebab musabab yang sangat erat dengan kajian-kajian psikologi, baik sebagai korban maupun pelaku bullying.
Perilaku perundungan dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan fisik maupun mental. Hal ini terjadi pada korban perundungan. Ketika tindakan perundungan terjadi pada mereka baik verbal, fisik, maupun psikologis/mental, korban akan mengalami sejumlah gangguan psikologis.
Berdasarkan studi yang dirilis oleh sebuah Lembaga studi di Yunani menyebutkan bahwa setiap anak yang mengalami bullying maka akan menimbulkan gangguan psikologis yang bisa jadi berdampak serius bagi tumbuh kembang anak. Adapun gangguan tersebut yakni sering mengalami rasa cemas yang berlebihan, depresi, bahkan ada yang sampai memilih jalan mengakhiri kehidupannya sendiri. Pada kajian lain, banyak juga studi yang menyebutkan bahwa korban perundungan akan merasa tidak percaya diri jika hidup di tengah kehidupan sosial. Bahkan, banyak di antara mereka lebih memilih menarik diri darilingkungan sosial.