Oleh: Nourma Ayu S. Purnomo
Seorang jurnalis senior di New York Michele Gielan pernah mengatakan bahwa “perbandingan sosial yang mengarah pada ketidakbahagiaan adalah sisi negatif dari media sosial”. Jadi jika setiap orang bisa memahami bahwa manusia memiliki dua sisi, yakni kelebihan dan kekurangan maka dalam memberikan opini mereka akan sangat berhati-hati. Tak hanya itu, jika setiap orang memiliki kesadaran diri yang tinggi maka segala bentuk pendapat atau komentar di media sosial akan disampaikan secara etis dengan sangat memperhatikan norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Jika ditarik mundur, kebutuhan manusia untuk membadingkan dirinya dengan orang lain merupakan hal positif karena bertujuan untuk menilai diri sendiri. Pada dasarnya, berdarakan ilmu psikologi sosial, perbandingan yang terjadi di lingkungan sosial bisa juga berdampak positif karena meningkatkan self esfteem (harga diri), self enhancement (kualitas diri). Namun, apabila setiap orang mengetahui batasan dan kapasitas diri, maka dalam perbandingan sosial setiap orang akan akurat dalam membuat opini terhadap diri sendiri dan orang lain.
Bukan menjadi hal yang mengeherankan jika setiap orang berbondong-bondong mempercantik jati dirinya di media sosial, di sini setiap orang memiliki jati diri yang baru dan mungkin saja sangat berbebeda dengan kehidupan pada dunia nyata. Sebagaimana yang diungkapkan Festinger (1954) pada beberapa dekade yang lalu, dia menilai bahwa manusia secara sosial memiliki kebutuhan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Melaui keberadaan media sosial maka aktivitas perbuatan membanding-bandingkan lebih mudah dan bisa berujung pada perilaku negative, misalnya “nyinyir di media sosial”.
Analisa lebih dalam terkait perilaku nyiyir di media sosial ditelaah pada kajian psikologi sosial menunjukkan bahwa mereka yang nyiyir menilai dirinya lebih baik dibandingkan orang lain. Bahkah dalam banyak kasus, mereka yang nyinyir megidolakan diri sendiri dan golongannya lalu menghina dan merendahkan golongan yang lainnya (outgroup derogation).
Nyinyir seakan sudah menjadi wabah yang bisa menimbulkan efek trauma di jejaring media sosial. Pasalnya nyinyir tersebut bisa berupa hinaan atau kritik super pedas terhadap personal yang dilakukan secara terus menerus. Berbeda dengan kritikus sehat yang memberikan kritik denngan cara yang tepat dan solusi yang membangun, seorang yang aktif nyinyir di media sosial mengkritik dengan tujuan ingin menjatuhkan.
Beragam cara nyinyir di media sosial bisa dengan banyak cara, di antaranya: mencibir di kolom komentar, menyindir melalui short story, bahkan sampai menghujat secara langsung melalui Instagram story, dan masih banyak lagi cara. Aktivitas ini selain bisa merusak kesehatan mental korban dan pelaku, perilaku ini juga bisa menjerat pelakunya dengan menggunakan UU ITE.