Oleh: Adinda Shofia (Dosen Psikologi UNIMUDA Sorong)
Masa pandemi memaksa setiap orang untuk lebih dekat dengan teknologi, tidak terkecuali dengan para peserta didik di seluruh Indonesia. Belum selesai dengan masa pandemi, kini para peserta didik yang harus mengenyam pendidika melalui Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang juga berbuntut dengan berbagai dampak negatif, salah satunya yakni tekanan secara psikologis bagi anak. Tekanan yang berlangsung terus menerus bisa menyebabkan mental anak tidak sehat dan mudah mengalami stress.
Sebagai mahluk sosial, setiap orang membutuhkan interaksi antara satu orang dengan orang yang lain. Interakasi inilah yang berkurang pesat ketika pandemi melanda, terlebih pada masa pertumbuhan anak yang sedang mencari jati diri dan haus dengan sosok yang bisa dijadikan teladan. Pada fokus bahasan kali ini, siswa bisa mengalami peningkatan stress karena kurangnya interaksi, baik interaksi dengan teman, guru, dan lingkungan.
Belajar secara online bagi anak yang memiliki kebiasaan bersama gadget serta pemahaman yang baik terhadap teknologi mungkin tidak akan mengalami kesulitan yang berarti. Namun perlu digaris bawahi bahwa tidak semua peserta didik memiliki pemahaman yang baik dan tidak semua peserta didik mudah beradaptasi dengan perubahan, cepat tanggap atau terampil dalam penggunaan berbagai aplikasi daring.
Besar harapan teknologi bisa membuat sistem pembelajaran secara daring bisa membuat sistem pembelajaran berlangsung efektif, namun pada kenyataanya PJJ justru membuat anak tertekan, tidak memiliki role model, dan yang paling ditakutkan ialah anak putus asa lalu justru enggan untuk melanjutkan Pendidikan.
Menurut Psikolog Intan Erlita, itu semua tak terlepas dari kedudukan anak sebagai makhluk sosial, di mana mereka butuh berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. Dalam hal ini bukan saja orangtua, tetapi juga teman seusianya, guru, dan lingkungannya.
Masa anak-anak merupakan masa perkembangan dan pertumbuhan anak yang palig produktif, pada momen ini anak membutuhkan banyak interaksi secara langsung dengan lingkungan. Selain itu, pada momen ini anak baru belajar mengenali lingkungan, belajar mengenali cara para guru berkomunikasi dan berperilaku, sikap orangtua memperlakukan anak-anak, dan bagaimana anak-anak beradaptasi dengan teman sepermainannya.
Intan Erlina juga menaruh perhatian serius pada anak-anak yang kehilangan masa-masa yang dikatakan sebagai hubungan antar-manusia, hubungan bagaimana dia beradaptasi. Hal inilah yang menimbulkan stres.
Kondisi ini diperburuk dengan tuntutan belajar yang tinggi. Tugas-tugas menumpuk, namun waktu yang tersedia untuk mengerjakan sedikit, serta tidak adanya waktu untuk mengaktualisasikan diri.
Tuntutan belajar yang tinggi serta tugas yang menumpuk memperburuk kesehatan mental anak. Hal ini disebabkan waktu anak habis untuk mengerjakan banyak tugas dan tidak memiliki waktu dan ruang untuk mengekpresikan diri.
Mental yang lelah akan mengantar anak pada perasaan jenuh dan berdampak pada penurunan nilai secara akademis serta emosi yang kian hari makin tidak terkontrol.
