Edisi.id – Pengacara nikah beda agama, Zico Simanjuntak, menyatakan Tunisia adalah negara Islam dengan penduduk 99 persen muslim. Tapi di negara itu nikah beda agama diperkenankan. Hal itu menjadi pertanyaan ke ahli dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) di sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pertanyaan pertama, ada sebuah negara namanya Tunisia, konstitusinya secara jelas menyatakan bahwa Tunisia adalah negara Islam, 99 persen penduduknya beragama Islam dan presidennya pun harus Islam. Tetapi Tunisia mengizinkan nikah beda agama,” ucap Zico yang tertuang dalam risalah sidang MK sebagaimana dilansir website MK, Kamis 08 September 2022.
Zico juga menyoroti penafsiran yang berbeda-beda di kalangan Islam. Contohnya, MUI DKI Jakarta pada 1986 pernah mengeluarkan fatwa boleh nikah beda agama.
“Artinya kan kalau kita lihat dalam konteks tafsir agama, ini kan sebenarnya sesuatu yang masih debatable, masih bukan sesuatu yang Qath’i maksudnya sesuatu yang Dzanni, dan hal‐hal yang seperti ini, itu kan masih merupakan tafsir antar-antar-golongan,” ucap Zico.
“Bahkan saya ingat sekali dulu Prof Uswatun Hasanah almarhum, beliau pernah mengatakan, ‘Fatwa MUI pun tidak mengikat kok bagi mereka yang bukan pengikut MUI’, Prof Uswatun pernah bicara begitu di kelas,” ucap Zico.
Menjawab pertanyaan di atas, ahli dari MUI, Amin Suma menyatakan tidak tepat membanding-bandingkan Indonesia dengan Tunisia. Sebab, Indonesia mempunyai kedaulatan hukum sendiri. Termasuk ulama Indonesia juga punya pendirian sendiri.
“Karena negara itu banyak lagilah, di Maroko yang mazhabnya Maliki, sebagian Hanafi, sebagian ini, enggak ada. Jadi, enggak bisa merujuk kepada Tunis. Kita ini negara berdaulat, sudah punya majelis ulama. Banyak ulama di Indonesia ini, enggak perlu cari ulama-ulama yang mana,” jawab Amin Suma.
Amin Suma tidak mempermasalahkan perbedaan pendapat di masyarakat terkait nikah beda agama. Tapi ketika menjadi hukum, harus satu kriteria.
“Nah, kalau ada ahli hukum yang mengatakan, ‘Boleh’, sebagai ilmuwan, ahli bisa saja berdiskusi. Tapi untuk di pengadilan itu, harus berlaku namanya hukum dalam istilah hukum Islam. Mana yang paling banyak berlaku di masyarakat, kalau alam demokrasi itu sudah suara mayoritas,” ujar Amin Suma.
Sebagaimana diketahui, permohonan ini diajukan oleh perorangan beragama Khatolik yang berdomisili di Kampung Gabaikunu, Papua, E Ramos Petege. Dalam permohonannya, ia hendak melangsungkan pernikahan dengan perempuan pemeluk agama Islam. Namun, karena terkendala UU Perkawinan, Petege tidak bisa melangsungkan pernikahan.
