Edisi.id– Anggota Komisi B, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok Hafid Nasir, gelisah. Anggota komisi B ini, yang membidangi perekonomian dan keuangan ini mengkhawatirkan penggunaan air berlebih yang tidak terawasi secara optimal oleh para stakeholder di tingkat provinsi dan pusat, dapat merusak ekosistem alam.
“Karena penerbitan izin pengeboran, penerbitan izin penggalian, pemakaian dan pengusahaan air tanah semua sudah beralih ke provinsi, sehingga perlu ada semacam pengawasan dari kementerian, provinsi, dan pemerintah daerah, bagaimana berupaya dalam melakukan pengawasan?” ujar Hafid pada sesi tanya- jawab Seminar bertajuk Bahaya Penggunaan Air Tanah Berlebihan yang diselenggarakan Pemerintah Kota Depok dengan PT Tirta Asasta Depok (TAD) Persorda di Hotel Bumi Wiyata, Kota Depok, Jawa Barat, Kamis (8/9/2022).
Sasaran utama dari seminar ini adalah pelaku dunia usaha yang memanfaatan air untuk usahanya, diantaranya badan usaha perhotelan, industri, dan restoran. Dihadiri Direktur Utama (dirut) PT Tirta Asasta Depok (TAD) Perseroda M Olik A Holik dan ibuka oleh Sekda Kota Depok Supian Suri. Pada sesi tanya jawab itu, pertanyaan Hafid ditujukan secara spesifik kepada Kepala Balai Konservasi Air Tanah (BKAT), Badan Geologi dan Tata Lingkungan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Taat Setiawan.
“Pengawasan melekat pada yang memberi izin, Pak,” jawab Taat tegas.
Taat menerangkan, perizinan pengusahaan air tanah diberikan oleh Pemerintah Provinsi (pemprov) Jawa Barat. Ia dan timnya yang berada di BKAT tugasnya adalah yang memberikan rekomendasi teknis kepada pemohon izin pengusahaan air tanah dalam hal konservasi. Jadi, tanggugjawab pengawasan pelanggaran ekplotasi air tanah mejadi kewanangan dan tugas Pemprov Jawa Barat.
“Agar seimbang output dan input air tanah itu maka kami membuat suatu peta konservasi air tanah sebagai instrumen pengendalian pengambilan air tanah. Dimana, di situ sudah ada dosis-dosis pengambilan air tanah di berbagai zona dengan pertimbangan potensi air tanahnya seberapa besar dan kondisi riil muka air tanah,” terang Taat.
Pada seminar itu Taat mengaku banyak pemohon izin pengusahaan air tanah dari Kota Depok yang ia tidak berikan rekomendasi teknisnya oleh BKAT. Dalihnya, Kota Depok adalah wilayah imbuhan yang air tanahnya tidak boleh diambil lagi.
“Makanya saya merasa tertolong dengan adanya Tirta Asasta ini. Saya jadi bisa kasih alternatif ke pemohon yang datang untuk beralih ke air permukaan saja dibanding menggunakan air tanah,” ujar Taat.
Seminar dengan tajuk Bahayanya Penggunaan Air Tanah Secara Berlebihan adalah acara yang diinisiasi oleh PT Tirta Asasta Depok (TAD) bekerjasama dengan Pemerintah Kota Depok dalam rangka perayaan Hari Pelanggan.
Adapun selain Taat yang menjadi narasumber, Ada Ketua Kelompok Riset Interaksi Air Tanah Pusat Limnologi dan Sumber Daya Air, Badan Riset dan Inovasi Sosial (BRIN) Rachmat Fajar Lubis, juga menjadi narasumber seminar hari itu.
Kemudian ada juga narasumber, Direktut Direktorat Pengendalian Pencemaran Air, Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yaitu Safrudin.
Lalu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok, Mary Liziawati yang turut serta memaparkan materi mengenai dampak penggunaan air tanah yang berlebih dari perspektif kesehatan.
Semakin lengkap dengan hadirnya Kepala Sub Direktorat Air Tanah dan Air Baku Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Dwi Agus Kuncoro.
Kembali ke Hafid, ia berharap seminar yang diadakan TAD tidak hanya untuk mendengarkan narasumber, tapi juga bisa menghasilkan output yaitu rencana strategis yang bisa dilakukan bersama-sama sehingga upaya untuk melestarikan lingkungan bisa optimal dan penggunaan air tanah berlebihan bisa diminimalisasi.
(Hisan)