Cinta itu universal menyapa hati siapa saja. Tak peduli asal usul primordial dan status sosial. Secara mondial, cinta dibicarakan tidak hanya oleh pujangga dan ulama, tapi juga oleh Nabi junjungan kita.
Tak tanggung-tanggung Nabi mewasiatkan kepada manusia ihwal bukti cinta sejati, seperti dikutip Syaikh Nawawi dalam kitab Nashaihul Ibad. Magnum-opus ulama asal Banten yang mendunia itu.
Bukti cinta pertama, “dia memilih kata-kata kekasihnya ketimbang kata-kata orang lain”. Secara teologis, dapat dipahami dia memilih kata-kata tuhannya, nabinya, ulamanya ketimbang kata-kata manusia yang belum teruji validitasnya.
Yang dicintai orang-orang beriman dalam hal ini adalah Allah, Nabi, dan para ulama.
Terkait hal ini, Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya’.” (QS. al-Taubah/8: 24).
Bukti cinta kedua, “dia memilih duduk bersama kekasihnya ketimbang duduk bersama orang lain.” Teman duduk orang beriman lagi-lagi adalah Allah, Nabi, dan para ulama.
Di kala lapang maupun sempit, orang beriman memilih duduk bersama Allah. Memuji-Nya, memuliakan-Nya, dan berpasrah diri kepada-Nya. Di kala gundah maupun gembira, orang beriman memilih bershalawat atas Nabi hingga air matanya menetes di sudut bibirnya. Indah sekali.
Selanjutnya, orang beriman memilih duduk bersama ulama, menimba ilmu dan hikmah yang tidak pernah kering. Ulama adalah oase bagi dahaga ruhani manusia. Maka tak ayal, majlis-majlis ilmu hari ini dibanjiri jamaah dari berbagai lapisan sosial.
Bukti cinta ketiga, “dia memilih ridha kekasihnya ketimbang ridha orang lain.” Tak dapat disangkal orang beriman memburu ridha-Nya dan mengejar cinta-Nya. Disusul ridha Nabinya, gurunya, dan kedua orang tuanya. Nabi mewanti-wanti, “Ridha Allah bergantung pada ridha kedua orang tua, begitu pula kemurkaan-Nya.” (HR. Baihaki).
Sejatinya memilih ridha orangtua, memilih duduk bersama ulama, dan memilih kata-kata Allah dan Nabinya tak lain dari bukti cinta kepada Allah dan Nabi. Allah tegaskan, “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Ali Imran/3: 31).
Bukti cinta lain, bagi Syaikh Nawawi adalah, “dia yang mencintai sesuatu, maka dia (rela) jadi budaknya.” Kata-kata bijak ini mengingatkan agar tak salah mencinta, kecuali Allah, Nabi, ulama, dan orang tua.
Tak berlebihan kalau Yahya bin Muadz (wafat 871 Masehi), seperti dikutip Syaikh Nawawi, berdeklamasi, “Mencintai Allah kendati sebesar atom lebih aku sukai dari ibadah tujuh puluh tahun”. Mengapa? Karena orang yang beribadah selama itu belum tentu mencintai Allah.*
Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA., Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung, Kota Depok