Depok | Edisi.id – Dalam diskursus tata kelola pemerintahan daerah, Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) memiliki posisi strategis sebagai institusi penggerak profesionalisme aparatur sipil negara. Namun, pengalaman empiris di Kota Depok justru memperlihatkan anomali. Alih-alih tampil sebagai motor reformasi birokrasi, BKPSDM kerap menjadi sumber kegaduhan administrasi. Aktivis menilai, dari sekian banyak permasalahan di tiap dinas, pola kegagalannya selalu merujuk pada lemahnya manajemen kepegawaian di tubuh BKPSDM.
“Keterlambatan pengurusan P3K, penempatan pejabat yang tidak sesuai kompetensi, hingga minimnya transparansi dalam rekrutmen hanyalah contoh yang mengemuka ke ruang publik. Masalah yang lebih serius adalah absennya desain kelembagaan yang sehat. Secara akademis, hal ini menunjukkan adanya defisit akuntabilitas alias BKPSDM gagal menjawab prinsip dasar ‘Good Governance’ yakni, transparansi, responsivitas, dan efektivitas. Akibatnya, dinas-dinas teknis pun berjalan dalam kondisi disfungsional, karena hulu birokrasi yang semestinya menopang justru menjadi penghambat”, tegas Aktivis Sosial Suryadi (Bhoges), Senin 15/9/2025.
“Tidak berlebihan bila sejumlah aktivis menyebut BKPSDM sebagai ‘Episentrum Disfungsi Birokrasi’. Sebab, kegagalan di lembaga ini bukan sekadar persoalan teknis administratif, melainkan struktural dan sistemik. Evaluasi yang bersifat tambal-sulam hanya akan melanggengkan lingkaran setan birokrasi lamban, kompromistis, dan sarat kepentingan politik. Dengan kata lain, publik seolah diminta menerima kenyataan bahwa masa depan aparatur sipil negara di Depok digadaikan oleh tata kelola kepegawaian yang tidak profesional”, ungkapnya.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar, bahwa sampai kapan pemerintah Kota Depok membiarkan institusi strategis seperti BKPSDM berjalan tanpa arah?. Apakah Walikota rela reputasi birokrasi Depok tergerus karena ketidakmampuan satu lembaga kunci dalam menjalankan mandatnya?. Jika jawaban dari pertanyaan itu terus dihindari, maka gagalnya reformasi birokrasi akan menjadi catatan kelam dalam sejarah pemerintahan daerah.
“Secara normatif, BKPSDM seharusnya menjadi pelopor pembaruan. Ia harus memastikan sistem merit dijalankan, memperkuat kapasitas aparatur, dan menutup ruang manipulasi dalam penempatan jabatan. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya, yang muncul justru gejala klasik birokrasi patrimonial yaitu : jabatan diperlakukan sebagai komoditas politik, proses administrasi dijalankan dengan logika kekuasaan, bukan dengan prinsip profesionalisme”, sambungnya.
“Oleh karena itu, tuntutan evaluasi besar-besaran terhadap BKPSDM bukan sekadar wacana emosional, melainkan kebutuhan mendesak. Tanpa evaluasi struktural, baik pada aspek kepemimpinan, pola kerja, maupun mekanisme kontrol, BKPSDM hanya akan menjadi lembaga yang hidup di atas kertas, tetapi lumpuh di lapangan”, jelas Bhoges.
“Jika pemerintah daerah benar-benar serius membangun Kota Depok yang melayani, maka langkah pertama dan paling fundamental adalah menata ulang BKPSDM. Sebab, birokrasi yang sehat tidak akan lahir dari institusi kepegawaian yang cacat sejak hulu, dan jika agenda ini terus ditunda, maka publik berhak menilai, bahwa pemerintah Kota Depok sedang menutup mata terhadap masalah terbesar yang menggerogoti tubuh birokrasi Depok.(Arifin)












