Depok | Edisi.id — Pengurus National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) Kota Depok, DD, menegaskan bahwa capaian 13 medali emas, 7 perak, dan 23 perunggu pada Peparda 2022 merupakan bukti empiris kemampuan atlet disabilitas Depok untuk bersaing secara profesional.
Menurutnya, prestasi tersebut menjadi indikator kuat bahwa penyandang disabilitas memiliki potensi setara dalam ranah olahraga kompetitif jika didukung oleh sistem pembinaan yang terstruktur.
DD menilai, bahwa keberhasilan atlet disabilitas tidak lahir dari dukungan kebijakan yang memadai, melainkan dari ketekunan individu dan solidaritas komunitas. Kondisi ini menunjukkan adanya ‘Policy Gap’ antara potensi empiris atlet dengan kapasitas institusional pemerintah daerah dalam mengelola pembinaan olahraga disabilitas. Dengan kata lain, struktur kebijakan saat ini masih bersifat reaktif, bukan strategis.
DD menyebut, bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Depok belum memiliki pendekatan afirmatif dan berkelanjutan dalam pengembangan olahraga disabilitas. Kebijakan yang bersifat seremonial dinilainya gagal membangun tata kelola inklusif yang memastikan keberlanjutan pembinaan.
“Atlet kami berjuang dengan semangat nasionalisme, tetapi tanpa dukungan kelembagaan, dan pencapaian itu sulit direproduksi secara konsisten”, ucapnya.
Dalam kerangka tata kelola publik, DD mengusulkan pembangunan Sentra Olahraga Disabilitas (SOD) sebagai bentuk intervensi kebijakan berbasis keadilan akses. SOD, menurutnya, merupakan kebutuhan struktural yang tidak hanya menyediakan sarana latihan, tetapi juga menjadi wadah penguatan kapasitas, integrasi sosial, dan pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas.
Lebih jauh, DD mengungkapkan, bahwa SOD sebagai simbol pengakuan negara terhadap hak partisipasi warga disabilitas dalam pembangunan daerah. Ia menekankan, bahwa pembangunan tersebut memiliki nilai ideologis yang sejalan dengan prinsip ‘Inclusive Development’, dimana setiap warga negara, tanpa terkecuali, berhak atas akses dan fasilitas untuk mengembangkan potensinya.
Sebagai pembanding, DD menyoroti Kabupaten Bogor yang telah memiliki infrastruktur olahraga disabilitas terintegrasi dengan program pembinaan jangka panjang.
Ia menerangkan, bahwa kedua kota tersebut sebagai representasi best practice tata kelola olahraga yang progresif dan berorientasi pada kesetaraan.
“Depok seharusnya tidak tertinggal dalam hal ini, karena hak warga disabilitas adalah bagian dari mandat konstitusional”, terangnya.
DD juga kembali menekankan, bahwa tanpa reformasi kelembagaan dan perencanaan anggaran yang inklusif, pembinaan olahraga disabilitas di Depok akan tetap bersifat sporadis dan tidak berkelanjutan.
Ia menilai, bahwa absennya kerangka kebijakan yang berbasis data dan evaluasi kinerja menyebabkan pembinaan atlet disabilitas bergantung pada inisiatif individu, bukan sistem.
Menutup pernyataannya, DD menekankan bahwa Peparda 2026 harus menjadi momentum evaluatif bagi Pemkot Depok untuk mengubah paradigma kebijakan olahraga disabilitas.
“Pembangunan SOD bukan sekadar proyek fisik, melainkan representasi moral dan politik dari keadilan sosial. Ini tentang pengakuan hak warga negara untuk berpartisipasi secara setara dalam pembangunan”, tandasnya.(Arifin)












