Truk Terperosok di Jalan Kartini Raya, Warga Minta Tanggungjawab Apjatel, dan DPUPR Tidak Tutup Mata

  • Bagikan
Truk terjeblos kedalam lubang galian Apjatel yang tidak dirapihkan kembali.(Foto : Edisi.id)
Truk terjeblos kedalam lubang galian Apjatel yang tidak dirapihkan kembali.(Foto : Edisi.id)

Depok | Edisi.id – Kecelakaan truk yang terperosok ke bekas galian milik Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) di Jalan Kartini Raya, Kota Depok, kembali membuka luka lama tata kelola infrastruktur kota yang rapuh. Insiden ini bukan semata kecelakaan tunggal, melainkan indikasi kegagalan sistemik dalam manajemen proyek utilitas publik dan pengawasan pemerintah daerah.

Warga melaporkan, truk tersebut terperosok ke lubang galian yang ditutup asal-asalan, sehingga menghalangi akses keluar-masuk tempat tinggal warga sekitar galian Apjatel.

Peristiwa ini menegaskan, bahwa risiko keselamatan warga telah diabaikan demi efisiensi proyek, sementara ruang publik dikorbankan tanpa pertanggungjawaban yang jelas.

“Sudah berbulan-bulan lubang itu dibiarkan. Kami sudah lapor berkali-kali, tapi tak ada tindakan. Sekarang malah ada truk yang jatuh”, ujar seorang warga Kartini Raya, Rabu 15/10/2025.

Pernyataan tersebut merepresentasikan frustrasi publik terhadap otoritas Pemkot Depok yang tampak tidak hadir dalam menjamin keselamatan dasar warganya.

Kejadian ini menambah deretan panjang kelalaian serupa di jalan Kartini Raya jejak galian Apjatel dan kontraktor utilitas lain memperlihatkan pola yang konsisten pengerjaan cepat, pemulihan lamban, dan pengawasan nyaris nihil. Ini menandakan adanya ‘Governance Gap’ antara regulasi yang normatif dan praktik teknis di lapangan.

Secara akademik, kasus ini mencerminkan erosi prinsip ‘Urban Accountability’, di mana tanggung jawab penyelenggara proyek publik tidak diimbangi dengan mekanisme kontrol negara yang efektif.

Pemerintah Kota Depok dinilai gagal menjalankan fungsi pengawasan substantif, sementara entitas korporasi menikmati impunitas dalam pelaksanaan proyek berbasis izin.

Warga setempat menilai, bahwa izin galian seharusnya tidak hanya bersifat administratif, melainkan kontrak sosial yang mengikat secara etis dan legal.

“Setiap pelanggaran pemulihan fisik jalan sejatinya adalah pelanggaran terhadap hak publik atas keselamatan”, ucap warga, dan menekankan perlunya ‘Law Enforcement’ yang berorientasi pada keadilan spasial.

Kecelakaan di Jalan Kartini bukan lagi soal aspal berlubang, tetapi tentang kegagalan Pemerintah Kota Depok memastikan standar minimal keselamatan publik. Ketika proyek utilitas menjadi ancaman bagi pengguna jalan, maka legitimasi kebijakan pembangunan kota patut dipertanyakan.

Sudah saatnya aparat penegak hukum tidak hanya menjadi pengamat. Kontraktor di bawah Apjatel wajib dimintai pertanggungjawaban hukum atas kelalaian yang mengakibatkan kecelakaan dan gangguan publik.

Tanpa sanksi yang tegas, praktik pengabaian ini akan terus menjadi preseden buruk bagi tata kelola kota yang abai terhadap prinsip keselamatan warga dan integritas ruang publik.(Arifin)

  • Bagikan