Aktivis Sebut, Restorasi Sungai Utama dan Blueprint Drainase Adalah Solusi  Penanganan Banjir Kota Depok

  • Bagikan
Kondisi terusan Kali Cabang Tengah anak Kali Krukut Kelurahan Mampang yang memprihatinkan.(Foto : Edisi.id)
Kondisi terusan Kali Cabang Tengah anak Kali Krukut Kelurahan Mampang yang memprihatinkan.(Foto : Edisi.id)

Depok | Edisi.id — Didit, Aktivis Pemerhati Kebijakan Pemerintah menilai, bahwa problematika banjir di Kota Depok merupakan manifestasi dari lemahnya tata kelola hidrologi perkotaan (Urban Hydrological Governance) yang belum terintegrasi dengan sistem perencanaan ruang dan infrastruktur.

Didit menilai, bahwa Kota Depok memiliki posisi strategis, namun juga rentan secara ekologis dalam sistem aglomerasi Jabodetabek. Enam sungai besar yakni : Ciliwung, Angke, Sugutamu, Cipinang, Pesanggrahan, dan Krukut bersama jaringan anak sungainya membentuk sistem hidrologi kompleks yang rawan terhadap limpasan air dan genangan musiman.

Ia menegaskan, bahwa solusi banjir tidak dapat ditempuh melalui pendekatan infrastruktur konvensional semata, seperti : pengerukan atau pembangunan tanggul, melainkan memerlukan rekonstruksi paradigma pengelolaan air berbasis kajian ilmiah dan ekologi perkotaan.

“Restorasi sungai dan kali utama, menjadi prasyarat struktural dalam membangun sistem aliran air yang efisien dan adaptif. Proses ini harus memperhatikan elevasi aliran dari hilir ke hulu, dengan mempertimbangkan dinamika debit, kapasitas tampung, serta perubahan morfometri sungai akibat urbanisasi”, ucap Didit, Minggu 2/11/2025.

“Dalam kerangka hidrologi sistemik, pendekatan ini bertujuan memulihkan kontinuitas ekologis dan kapasitas resiliensi alami sungai, yang selama ini terganggu oleh alih fungsi lahan dan infrastruktur yang tidak sinkron secara spasial”, sambungnya.

Didit mengungkapkan, bahwa kelemahan mendasar dalam kebijakan pemerintah daerah adalah, terletak pada fragmentasi kebijakan dan absennya ‘Spatial Coherence’ antar wilayah.

“Pendekatan sektoral yang menitikberatkan intervensi di hulu tanpa analisis komprehensif terhadap daya dukung wilayah hilir mengakibatkan disrupsi pada sistem aliran. Hal ini menimbulkan fenomena ‘Urban Backwater Effect’ yakni : tertahannya aliran air di wilayah padat penduduk akibat tekanan topografis dan penyempitan saluran”, bebernya.

“Setelah sistem utama direstorasi, tahap selanjutnya adalah revitalisasi jaringan drainase lingkungan melalui pendekatan ‘Integrated Drainage Management’. Proses ini diarahkan dari hulu ke hilir dengan menitikberatkan sinkronisasi spasial antara saluran permukiman dan saluran primer”, terangnya.

“Dengan demikian, sistem drainase berfungsi tidak hanya sebagai sarana pembuangan air, tetapi juga sebagai subsistem pengendali limpasan permukaan (Surface Runoff Control System) yang bekerja mengikuti kontur alami kota”, lanjutnya.

Didit menekankan, bahwa sebagai dasar perencanaan strategis, diperlukan penyusunan ‘Blueprint Drainase Kota Depok’ yang berperan sebagai kerangka kerja kebijakan (Policy Framework) dalam tata kelola air perkotaan.

“Blueprint ini berfungsi sebagai instrumen koordinatif lintas sektor yang mengintegrasikan dimensi hidrologis, spasial, dan teknokratis. Isinya meliputi pemetaan arah aliran air, kapasitas hidrolik, model simulasi genangan, serta zona intervensi prioritas berbasis analisis kerentanan”, paparnya.

“Dalam tataran konseptual, Blueprint Drainase berfungsi sebagai medium untuk membangun koherensi antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), dan kebijakan pengendalian banjir. Integrasi tersebut sejalan dengan prinsip ‘Sustainable Urban Water Management (SUWM), yang menekankan keberlanjutan ekosistem, efisiensi infrastruktur, serta adaptabilitas terhadap perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk”, ungkapnya.

Didit juga kembali menekankan urgensi pelibatan aktor akademik dan lembaga riset dalam penyusunan kebijakan ini.

Pendekatan ‘Evidence Based Policy’ menjadi keharusan untuk menjamin validitas teknis dan rasionalitas kebijakan, sekaligus menghindari bias politis dan persepsi subjektif.

“Kolaborasi multipihak antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil idealnya akan melahirkan model tata kelola air yang inklusif dan berbasis pengetahuan. Dengan demikian, transformasi penanganan banjir Depok tidak semata bersifat remedial, melainkan transformatif menuju sistem pengelolaan air yang adaptif, resilien, dan berkeadilan spasial”, tuturnya.

“Reformasi drainase dan Restorasi sungai harus ditempatkan sebagai indikator kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dalam menerapkan prinsip ‘Good Urban Governance’, dimana keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan warga menjadi orientasi utama pembangunan kota”, tandasnya.(Arifin)

  • Bagikan