Depok | edisi.id – Polemik pengelolaan parkir di Kota Depok kembali menyingkap rapuhnya tata kelola publik. Aktivis antikorupsi menilai sektor parkir yang dikelola Dinas Perhubungan (Dishub) diduga sarat dengan praktik non-transparan dan rawan permainan rente. Mereka menilai potensi pendapatan asli daerah (PAD) yang seharusnya menopang pembangunan kota justru bocor di berbagai titik.
Suryadi Bhoges, aktivis Kota Depok, menegaskan, bahwa parkir adalah potret kecil dari wajah birokrasi kota. Menurutnya, jika tata kelola parkir saja tidak bisa transparan, maka sulit berharap sektor lain lebih akuntabel.
“Potensi PAD parkir bisa mencapai puluhan miliar per tahun, tetapi realisasi yang masuk ke kas daerah sangat jauh dari ideal. Ada pola kebocoran sistematis yang tidak boleh dibiarkan”, ujar Suryadi, Senin 22/9/2025.
Ia menyebut, bahwa praktik manual di lapangan menjadi sumber utama masalah. Banyak titik parkir yang seharusnya tercatat justru dibiarkan liar, sementara juru parkir kerap lebih patuh pada koordinator informal ketimbang Dishub. Kondisi ini memperlihatkan lemahnya pengawasan dan absennya sistem kontrol.
“Pola ini seperti lingkaran setan yakni : Dishub tahu ada kebocoran, tetapi membiarkan karena ada kepentingan oknum. Inilah yang harus dibongkar lewat audit BPK”, tegasnya.
Dari sisi akademik Suryadi menekankan, bahwa parkir bukan hanya soal pemasukan daerah, melainkan instrumen kebijakan mobilitas. Di kota besar, tarif parkir dijadikan alat pengendali lalu lintas dan pengatur ruang kota.
“Di Depok, parkir direduksi sekadar ladang pendapatan informal. Akibatnya, PAD bocor, lalu lintas macet, dan tata kota semakin semrawut”, ucapnya.
Suryadi juga menyoroti kegagalan Dishub dalam menerapkan digitalisasi parkir. Janji e-parking di Jalan Margonda Raya sejak 2022 hingga kini tak kunjung terealisasi.
“Gagalnya implementasi digitalisasi bukan soal teknis, melainkan soal keberanian melawan status quo. Ada pihak-pihak yang diuntungkan dari sistem manual yang rentan manipulasi. Itu sebabnya, pembiaran terjadi”, ungkapnya.
Audit investigatif BPK, menurut Suryadi, akan menjadi momentum penting. Tidak hanya menghitung besaran kebocoran, melainkan juga membongkar relasi kuasa yang membuat tata kelola parkir terjebak dalam sistem rente.
“Kita perlu tahu berapa titik parkir resmi, siapa pengelolanya, berapa setoran riil ke kas daerah. Tanpa transparansi data, publik hanya disuguhi angka formal yang jauh dari realitas”, terangnya.
Sebagai perbandingan, sejumlah kota seperti Bandung dan Surabaya telah berhasil meningkatkan PAD parkir secara signifikan melalui digitalisasi dan tender terbuka. Jika Depok gagal melakukan hal serupa, itu bukan karena keterbatasan teknologi, melainkan lemahnya komitmen politik. Kondisi ini, menurut aktivis, harus segera diputus dengan intervensi audit eksternal.
“Surat untuk BPK sedang kami siapkan. Audit ini bukan sekadar soal uang yang hilang, tapi soal integritas birokrasi. Kalau parkir saja tidak bisa jujur, bagaimana publik percaya sektor lain bisa dikelola secara bersih?”, tandas Suryadi Bhoges.(Arifin)
