Bukti Gagalnya Tata Kelola Badan Kepegawaian, Kebijakan P3K di Depok Kontras dengan Daerah Lain

  • Bagikan
Kantor Badan Kepegawaian Daerah Kota Depok.(Foto : Istimewa)

Depok | Edisi.id – Jika dibandingkan dengan sejumlah daerah lain, kebijakan Pemkot Depok terkait rekrutmen P3K tampak kurang adaptif. Di Kota Semarang misalnya, Pemerintah Daerah menginisiasi ‘Help Desk’ khusus yang membantu honorer melengkapi berkas dan memverifikasi dokumen sebelum masa pendaftaran ditutup. Hal serupa juga dilakukan oleh Pemkab Sleman yang memberikan kebijakan afirmatif, yakni pengakuan masa kerja panjang sebagai poin penilaian tambahan.

Sebaliknya, di Depok, instruksi BKD cenderung formalistik. Persyaratan administratif diperlakukan seolah menjadi gerbang seleksi utama tanpa memberikan ruang konsultasi memadai. Akibatnya, banyak honorer yang sudah mengabdi belasan tahun justru merasa tersisih hanya karena kendala teknis dokumen.

Secara nasional, Kementerian PAN-RB menargetkan penyelesaian status lebih dari 2,3 juta honorer hingga 2025 melalui skema P3K. Namun, capaian ini sangat ditentukan oleh implementasi pemerintah daerah. Kota-kota yang mampu menyediakan sistem transisi yang transparan dan inklusif terbukti lebih berhasil mengurangi keluhan honorer.

Suryadi (Bhoges) Kritikus kebijakan publik menegaskan, bahwa Pemkot Depok semestinya belajar dari praktik baik tersebut.

“P3K adalah instrumen keadilan sosial bagi honorer, bukan sekadar mekanisme administratif. Jika daerah lain bisa menata dengan lebih manusiawi, mengapa Depok justru menambah kerumitan?”, ucap Bhoges, Jum’at 12/9/2025.

Dengan demikian, persoalan honorer di Depok bukan hanya soal teknis kepegawaian, melainkan potret kegagalan tata kelola yang menempatkan birokrasi di atas kepentingan manusia.

Jika pola ini terus berlangsung, Depok berisiko mengalami krisis legitimasi aparatur, di mana tenaga honorer yang seharusnya menjadi pilar pelayanan publik justru semakin terpinggirkan.(Arifin)

  • Bagikan