Depok | Edisi.id – Aktivis sosial Hj. Rosanah, yang akrab disapa Mak Ipeng, menegaskan bahwa kasus Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Kota Depok tidak boleh lagi dipandang sebelah mata. Menurutnya, problematika ini menuntut perhatian serius mulai dari ranah pencegahan, layanan pengobatan rutin, hingga rehabilitasi sosial yang berkelanjutan.
“Kesehatan jiwa adalah hak dasar manusia. Jika pemerintah tidak hadir secara penuh, maka masyarakatlah yang menanggung risiko sosialnya”, ujarnya, Kamis 18/9/2025.
Fenomena ODGJ di Depok sebenarnya bukan isu baru. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, secara nasional prevalensi gangguan jiwa berat mencapai 1,8 per 1.000 penduduk. Dengan populasi Depok yang lebih dari 2,2 juta jiwa, secara teoritis jumlah ODGJ bisa mencapai ribuan orang. Namun, ironisnya, Pemkot Depok belum memiliki basis data akurat maupun mekanisme pemantauan yang transparan, sehingga penanganannya cenderung sporadis dan insidental.
Mak Ipeng menilai, problem ini sering kali hanya ditangani saat ODGJ menimbulkan insiden di ruang publik misalnya, mengganggu lalu lintas atau menimbulkan keresahan warga. Pola reaktif semacam itu jelas menyalahi prinsip kesehatan masyarakat yang seharusnya menekankan aspek promotif dan preventif. Artinya, Depok masih gagal menjadikan isu kesehatan jiwa sebagai prioritas pembangunan manusia.
Kelemahan lain tampak pada minimnya akses layanan kesehatan jiwa. Rumah sakit daerah dan puskesmas di Depok masih sangat terbatas dalam menyediakan layanan psikiatri, apalagi layanan rawat jalan rutin bagi pasien ODGJ. Padahal, pengobatan berkesinambungan dengan obat psikotropika adalah kunci utama stabilisasi kondisi pasien. Tanpa keberlanjutan terapi, risiko kambuh (relapse) sangat tinggi dan berdampak langsung pada keamanan sosial.
“Selain aspek medis, dimensi sosial juga tidak kalah penting. Banyak ODGJ yang kehilangan dukungan keluarga maupun komunitas, sehingga terjerumus dalam kondisi hidup yang tidak manusiawi : telantar, menggelandang, hingga menjadi objek stigma. Pemkot Depok semestinya menyiapkan program rehabilitasi sosial berbasis komunitas, bukan sekadar menyerahkan beban kepada keluarga pasien”, ungkapnya.
“Kita tidak boleh hanya memandang ODGJ sebagai beban, mereka adalah warga negara yang haknya sama”, kritik Mak Ipeng.
Di sisi lain, Mak Ipeng mengatakan, bahwa regulasi dan kebijakan Pemkot Depok kerap bias pada program seremonial ketimbang pelayanan riil. Anggaran kesehatan lebih banyak terserap pada sektor fisik atau kampanye populer, sementara layanan kesehatan jiwa sering dianggap minor issue. Padahal, WHO telah menekankan bahwa pembangunan kota yang sehat harus mencakup dimensi mental, sosial, dan lingkungan, bukan hanya fisik.
“Kegagalan pemerintah daerah mengarusutamakan isu ODGJ sesungguhnya mencerminkan lemahnya paradigma pembangunan manusia di Depok. Pemkot lebih sibuk membangun infrastruktur ketimbang membenahi kualitas hidup kelompok rentan. Hal ini berimplikasi pada meningkatnya beban sosial, dari masalah kriminalitas hingga pengangguran struktural, yang pada akhirnya kembali menyedot anggaran publik”, tegasnya.
“Kasus ODGJ di Depok pada akhirnya merupakan cermin dari ketidakseriusan pemerintah daerah dalam menegakkan mandat konstitusi. Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan, termasuk kesehatan jiwa. Dengan demikian, penanganan ODGJ bukanlah pilihan, melainkan kewajiban negara. Tanpa perubahan paradigma yang serius, Depok hanya akan terus memproduksi stigma dan menelantarkan warganya yang paling rentan”, tandasnya.(Arifin)
