Depok | Edisi.id – Aktivis Sosial Suryadi (Bhoges) menyebut, bahwa kegagalan 570 pegawai non-database kategori Pegawai Kontrak Tidak Tetap (PKTT) Kota Depok dalam seleksi CPNS maupun P3K bukan sekadar persoalan administratif, melainkan cermin buram tata kelola manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkup Pemkot Depok. Ironisnya, sebelum adanya program rekrutmen ASN nasional, tenaga mereka justru menjadi tulang punggung pelayanan publik di berbagai lini.
“Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Depok patut dipertanyakan akuntabilitasnya. Bagaimana mungkin tenaga yang bertahun-tahun dipakai untuk menopang birokrasi justru tidak masuk dalam basis data resmi?. Ketiadaan pencatatan yang rapi menunjukkan lemahnya sistem perencanaan kebutuhan ASN, yang seharusnya menjadi tugas pokok lembaga ini”, ucap Bhoges, Kamis 18/9/2025.
“Fenomena ini mengingatkan pada praktik ‘Utilitarianisme Birokrasi’ yang hanya memanfaatkan tenaga honorer selama dibutuhkan, namun abai ketika negara menuntut legalitas formal. Ribuan jam kerja, loyalitas, dan kontribusi mereka terhadap pelayanan publik seakan terhapus hanya karena tidak tercatat dalam sistem kepegawaian pusat”, ungkapnya.
Di sisi lain Bhoges menilai, bahwa Pemkot Depok seakan gagal memperjuangkan hak-hak pegawai non-database tersebut. Padahal, berbagai daerah lain di Indonesia melakukan upaya advokasi agar tenaga kontrak lokal tetap mendapat ruang transisi menuju P3K. Ketiadaan inisiatif ini menegaskan lemahnya political will pemerintah daerah terhadap keberlangsungan tenaga honorer.
“Dampak sosial dari kebijakan diskriminatif ini pun nyata. Para PKTT yang selama ini bergantung pada penghasilan bulanan kini menghadapi ketidakpastian hidup. Mereka yang selama ini mengabdi di Sekolah, Kelurahan, hingga unit layanan publik lainnya terancam menganggur tanpa kepastian kompensasi maupun skema perlindungan sosial”, terangnya.
“Persoalan ini menyingkap krisis keadilan birokrasi. Bagaimana mungkin tenaga honorer yang terbukti memberi manfaat langsung bagi masyarakat justru dikeluarkan dari jalur formal, sementara rekrutmen ASN kerap diwarnai kasus nepotisme dan permainan kuota?. Situasi ini memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap mekanisme seleksi ASN”, sambungnya.
“Idealnya, Pemkot Depok perlu segera membangun model transisi yang adil bagi tenaga non-database. Salah satu langkah strategis adalah menyusun regulasi daerah yang memastikan kontribusi mereka tidak terbuang percuma, entah melalui jalur kontrak jangka panjang, pengakuan pengalaman kerja sebagai poin afirmasi, atau advokasi ke pemerintah pusat”, tandasnya.
Bhoges menegaskan, bahwa tanpa perbaikan serius, nasib 570 PKTT ini bukan hanya tragedi individual, tetapi juga menandai kegagalan institusional dalam mengelola sumber daya manusia birokrasi. Sebuah pelajaran pahit bagi Depok yang sedang berambisi menjadi kota modern dengan pelayanan publik yang responsif.(Arifin)
