Aktivis Sebut, Surat Edaran Perekaman KTP-el Sekda Depok Cerminkan Krisis Tata Kelola Hukum dan Pelanggaran Hak Konstitusional

  • Bagikan
Surat edaran berkop Sekretariat Daerah Kota Depok tentang perekaman KTP-el jika lewat batas waktu akan menonaktifkan NIK Pelajar.(Foto : Istimewa)

Depok | Edisi.id — Surat edaran berkop Sekretariat Daerah Kota Depok yang mewajibkan pelajar berusia 17 tahun melakukan perekaman KTP Elektronik (KTP-el) dalam batas waktu tertentu dengan ancaman penonaktifan data kependudukan menuai kritik tajam.

Didit, Aktivis Pemerhati Kebijakan Pemerintah, menilai kebijakan tersebut menunjukkan krisis tata kelola hukum dan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga muda.

Ia menyebut, bahwa penggunaan sanksi administratif dalam pemenuhan hak identitas adalah bentuk penyimpangan serius terhadap prinsip negara hukum.

Menurut Didit, ancaman penonaktifan data kependudukan tidak memiliki dasar legalitas yang sah dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Negara, ujarnya, tidak boleh menukar hak sipil dengan kepatuhan administratif.

“KTP adalah hak melekat, bukan hak bersyarat. Ketika negara mengaitkannya dengan ancaman, maka negara telah gagal menjalankan mandat konstitusi”, tegas Didit, Senin 3/11/2025.

Didit memandang, bahwa kebijakan tersebut memperlihatkan disorientasi pemahaman terhadap fungsi hukum sebagai pelindung, bukan alat kontrol warga.

Ia juga menyoroti pelanggaran prinsip proporsionalitas administratif dan legal certainty, dua asas penting dalam tata kelola pemerintahan modern. Kebijakan yang bersifat koersif terhadap pelajar menurutnya, memperlihatkan penyalahgunaan diskresi birokratik yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dalam kerangka ‘Rights Based Governance’, negara seharusnya memfasilitasi hak identitas setiap warga tanpa intimidasi administratif.

Dari sisi kebijakan publik, Didit menilai, bahwa surat edaran itu disusun tanpa landasan akademik dan tanpa analisis berbasis bukti (Evidence Based Policy).

Tidak adanya konsultasi publik atau uji kelayakan sosial menandakan lemahnya prinsip ‘Due Process of Governance’.

“Kebijakan publik yang tidak berbasis bukti akan kehilangan rasionalitas dan pada akhirnya kehilangan legitimasi”, bebernya.

Ia juga mengungkapkan, bahwa lemahnya koordinasi antar instansi, khususnya antara Dukcapil, Dinas Pendidikan, dan Sekretariat Daerah, sebagai akar dari munculnya kebijakan yang tumpang tindih dan koersif.

Didit menegaskan, agar setiap kebijakan kependudukan yang menyentuh sektor pendidikan harus disusun dengan pendekatan intersektoral, inklusif, dan partisipatif. Fragmentasi kebijakan dikatakannya, hanya memperburuk kepercayaan publik terhadap birokrasi.

Sebagai solusi, Didit mendorong Pemkot Depok untuk mengganti pendekatan koersif dengan model kebijakan edukatif dan literatif, seperti program perekaman KTP-el keliling di sekolah dan integrasi sistem digital antar instansi.

“Kebijakan publik yang beradab adalah yang membangun kesadaran hukum, bukan yang menanamkan rasa takut”, tandasnya.

Atas kejadian tersebut, para aktivis melanyangkan kritik keras bahwa : surat edaran ini bukan sekadar cacat administratif, tetapi cermin krisis etika pemerintahan dan lemahnya penghormatan terhadap ‘Rule of Law’ di tingkat lokal.(Arifin)

  • Bagikan