Depok | Edisi.id — Aktivis pemerhati kebijakan publik, Didit menilai, bahwa banjir yang kerap melanda Kota Depok merupakan dampak struktural dari ketidaktepatan desain elevasi dan lemahnya tata kelola drainase perkotaan.
Ia menegaskan, bahwa permasalahan tersebut tidak semata disebabkan oleh curah hujan ekstrem atau penumpukan sampah, melainkan akibat absennya pendekatan ilmiah dalam perencanaan infrastruktur air oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Depok.
Menurut Didit, dua institusi teknis yakni Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) serta Dinas Perumahan dan Permukiman (Disrumkim) gagal menerapkan prinsip ‘Hidrologi dasar’ dalam penataan sistem drainase.
“Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, namun banyak saluran di Depok dibangun tanpa memperhitungkan elevasi dan arah gravitasi. Akibatnya, air tertahan dan justru menimbulkan genangan baru”, ucap Didit, Kamis 30/10/2025.
Ia menilai kondisi ini mencerminkan defisit kompetensi teknis dan konseptual di tingkat perencana dan pelaksana kebijakan. Tanpa pemahaman mendalam terhadap pola aliran air dan kontur tanah, pembangunan drainase cenderung bersifat administratif dan tidak berbasis kajian ‘Hidrologis’.
“Yang dibangun bukan sistem, melainkan proyek. Padahal, drainase kota harus dirancang sebagai jaringan ekologis, bukan sekadar fisik saluran”, tegasnya.
Lebih lanjut, Didit mengkritik ketiadaan ‘Blueprint Drainase Global’ atau peta induk aliran air yang terintegrasi lintas wilayah.
Absennya dokumen tersebut menjadikan kebijakan drainase Depok bersifat reaktif dan parsial alias hanya menanggapi keluhan banjir tanpa memahami dinamika ruang dan perubahan tata guna lahan yang memengaruhi arah aliran air.
Dari sisi kebijakan fiskal, Didit mengungkapkan, bahwa telah terjadi inefisiensi anggaran publik akibat pembangunan yang tidak berbasis data ilmiah.
Ia menegaskan, bahwa setiap tahun miliaran rupiah dialokasikan untuk pembangunan drainase, namun tidak ada korelasi positif antara besaran anggaran dan penurunan titik genangan.
“Anggaran digunakan tanpa indikator kinerja berbasis outcome. Ini menandakan kegagalan tata kelola berbasis hasil”, jelasnya.
Ia juga menyoroti lemahnya koordinasi antarinstansi dan minimnya pengawasan teknis terhadap proyek-proyek drainase.
Ketidakterpaduan antarwilayah hulu-hilir membuat sistem drainase Depok bekerja secara sektoral, bukan sistemik. Akibatnya, air yang seharusnya mengalir keluar justru berbalik atau tertahan di area permukiman padat.
Sebagai langkah korektif, Didit mendesak Pemkot Depok melakukan audit kebijakan drainase secara komprehensif dengan melibatkan ahli hidrologi dan perencana tata ruang independen.
“Audit global anggaran dan kinerja DPUPR serta Disrumkim sangat diperlukan untuk mengevaluasi relevansi desain teknis, efektivitas pelaksanaan, dan rasionalitas penggunaan anggaran dalam konteks tata kelola risiko banjir perkotaan”, bebernya.
Didit menegaskan, bahwa banjir di Depok adalah cermin dari krisis epistemik dalam kebijakan publik, di mana keputusan teknis diambil tanpa dasar ilmiah yang kuat.
“Selama perencanaan drainase tidak dibangun di atas logika ‘Hidrologi’ dan integrasi spasial, banjir bukan sekadar bencana alam, melainkan produk kebijakan yang salah arah”, ungkapnya.
Didit menekankan, dibawah kepemimpinan Supian-Chandra yang menggaungkan jargon ‘Perubahan Depok Maju’ harus menjadi titik balik reformasi struktural.
Ia mendesak agar Walikota Depok yang baru berani merombak total struktur dan kultur birokrasi di DPUPR dan Disrumkim, serta menggantinya dengan model kelembagaan berbasis profesionalisme teknis dan akuntabilitas publik.
“Jika Walikota hanya mengganti pejabat tanpa membenahi cara berpikir, maka drainase Depok akan tetap dikelola seperti menimba air dengan ember bocor alias bising di permukaan, tapi gagal di substansi”, pungkas Didit tajam.(Arifin)












