Program RTLH Disrumkim Depok, Harapan Warga yang Tersandera Birokrasi

  • Bagikan
Acara realisasi program RTLH Disrumkim Kota Depok di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok.(Foto : Edisi.id)
Acara realisasi program RTLH Disrumkim Kota Depok di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok.(Foto : Edisi.id)

Depok | Edisi.id – Program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) besutan Disrumkim Kota Depok kian menjadi sorotan. Alih-alih menjawab kebutuhan dasar, program ini justru menyisakan paradoks yakni : warga miskin dipaksa menunggu hingga tiga tahun dalam antrean, sementara kondisi rumah mereka semakin membahayakan keselamatan.

Penundaan bantuan ini mencerminkan lemahnya tata kelola birokrasi. Program yang mestinya hadir sebagai solusi cepat berubah menjadi beban psikologis bagi kelompok rentan, sekaligus menegaskan kegagalan pemerintah daerah merespons urgensi hak dasar warganya.

Dalam perspektif kebijakan publik, keterlambatan berlarut adalah bentuk abai negara terhadap mandat konstitusional. Hunian layak bukan sekadar kebutuhan fisik, melainkan hak sosial yang dijamin UUD 1945. Ketika pemerintah tidak mampu memenuhi kewajiban ini, prinsip keadilan sosial hanya tinggal slogan.

Keluhan warga mencuat saat acara realisasi program RTLH yang digelar di Aula Kantor Kecamatan Pancoran Mas, pada Kamis, 2/10/2025.

“Sudah tiga tahun dijanjikan, dan beberapa kali didata tapi baru sekarang saya dapat bantuan. Rumah saya cuma 40 meter, gimana mau benerin rumah sendiri, buat makan aja saya harus ngamen dulu”, ungkap Ibu H yang berdomisili di Kelurahan Pancoran Mas, Kamis 2/10/2025.

Di tengah janji-janji politik, alokasi anggaran yang rutin digelontorkan tiap tahun tidak sejalan dengan realisasi. Transparansi minim, akuntabilitas lemah, sementara masyarakat miskin terus menanggung risiko kesehatan dan keselamatan. Ini menunjukkan adanya distorsi antara komitmen pemerintah dan implementasi nyata.

Ketidakadilan semakin gamblang. Mereka yang paling membutuhkan dipaksa bertahan dalam antrean panjang, sementara program RTLH kerap tampil sebatas seremoni dan instrumen pencitraan politik. Pada titik ini, program lebih terlihat sebagai agenda simbolis ketimbang solusi substantif.

Situasi tersebut seharusnya menjadi alarm serius bagi Pemkot Depok. Penundaan bantuan tidak hanya memperparah kondisi rumah, tetapi juga memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Reformulasi kebijakan berbasis data valid, percepatan realisasi, dan pengawasan independen menjadi jalan mendesak. Tanpa tata kelola yang transparan dan berpihak pada kelompok rentan, program RTLH akan terus dicatat sebagai potret kegagalan negara menjamin hak dasar warganya.(Arifin)

  • Bagikan